Jumat, 21 November 2014

Cincin Tahun Baru

Aku masih saja duduk termangu disini, bersama deburan ombak, serta langit dengan semburat warna oranyenya. Aku seperti merasakan anugerah yang Maha Kuasa di tempat ini. Ditambah lagi aku baru saja dinyatakan lulus dari SMA dengan nilai tertinggi seprovinsi Jawa Barat, benar-benar hal yang sempurna. Ya, sempurna bagi orang yang melihatnya dari luar, tapi tidak dari sudut pandangku. Mungkin aku berhasil di bidang akademik, tapi tidak dengan urusan hati.
Kita bicara soal Rangga, anak teman dekat papa yang tinggal bersama kami. Alasan papa mengajaknya tinggal bersama kami adalah karena kedua orangtuanya sudah meninggal 3 tahun yang lalu akibat kecelakaan pada malam tahun baru. Ia terbilang beruntung karena masih dapat selamat dari kecelakaan maut yang sangat mengenaskan itu.
Kehadirannya di rumah ini menjadi teman bagi Kaspian, satu-satunya kakak laki-laki yang aku punya, sekaligus jadi teman diskusi untuk tugas sekolah kami. Kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama, dengan tingkatan kelas yang sama, dan ruang kelas yang sama, tapi tidak untuk tempat duduknya.
“Lipat kesini, terus yang ini, terus tarik. Selesai! Tinggal dilepas ke pantai sebentar lagi,” aku bersorak karena baru saja menyelesaikan perahu kertasku.
Aku memang membawa kertas dan sebuah pulpen saat hendak kesini. Dari dulu aku selalu menuangkan semua keluh kesahku lewat tulisan, kemudian menjadikan kertas yang aku tulis menjadi sebuah perahu kertas agar tidak ketahuan, lalu melepasnya ke tepi pantai.
“Bianca,” sebuah suara mengejutkanku.
“Rangga, ngagetin aja. Aku kira tadi siapa, tiba-tiba manggil.”
“Maaf deh, Bi. Eh, itu apa?” tanya Rangga.
“Apa, Ga? Nggak ada apa-apa kok,” aku menyembunyikan perahu kertas yang kupegang. Aku yakin ia melihat ini tadi.
Rangga mencoba mencari tanganku, dan merebut perahunya. Dan ia mendapatkannya.
“Cuma perahu kertas, aku kira apaan. Kamu, yang beginian aja pake dirahasia’in,” celetuk Rangga. Kemudian ia mengembalikannya.
“Ini bukan perahu kertas biasa, Ga. Perahu kertas ini isinya semua keluh kesah aku,” timpalku sambil menggenggam perahu kertas dengan erat.
“Jadi kamu curhat di kertas itu? Setiap hari?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Pantes aja kamu sering duduk disini, sambil bawa kertas sama pulpen. Aku kira kamu mau nulis cerpen, kamu kan hobi nulis begituan,” ujar Rangga.
“Dan melepasnya ke pantai. Mau coba?” aku menyodorkan sehelai kertas dan pulpen.
Dengan cepat Rangga mengambilnya. Ia menuliskan sesuatu dan melipat benda tipis itu dengan cepat. “Oh Tuhan, apa yang ia tulis disana?” gumamku dalam hati.
Kami berdua berjalan menuju pantai. Kami melepas perahu-perahu kertas kami disana. Aku harap perahu kertas ini tidak hanya melegakan perasaan kami, tapi juga mengabulkan harapan kami.
“Bianca, masuk dulu yuk, kita nonton. Acaranya kan mulai sekitar tiga jam lagi,” kata Rangga.
“Nyusul deh,” jawabku.
Rangga berjalan ke arah rumah.
Jam tanganku menunjukkan pukul sembilan. Tiga jam menjelang tahun baru 2014. Aku memilih untuk masuk ke kamarku, meskipun saat itu Rangga mengajakku menonton film horor. Sebenarnya aku berniat ingin melanjutkan cerita pendek karanganku yang belum selesai, namun sayang aku tertidur saat itu.
Aku terbangun, tapi mata ini terasa belum akan terbuka. Ada tangan yang dengan hangat mengelus kepalaku. Kudengar suara sayup rangga. Kubiarkan tangan itu di kepalaku, sambil mendengar suaranya. Tiba-tiba Rangga mengucapkan sesuatu yang rasanya seperti akan membuatku tersedak.
“Aku sayang kamu sejak lama, Bianca,” ucapnya seraya membelai pipiku.
Kemudian ia membangunkanku dari tidur yang rasanya nyenyak tapi mengejutkan di akhir ini. Aku berpura-pura baru terjaga dari tidur. Seulas senyum manis di bibir tipis Rangga menyambutku. Aku langsung melesat dari tempat tidur dan merapikan penampilanku yang sedikit berantakan.
“Ayo keluar, udah mulai rame tuh,” Rangga berucap. Ia mengulurkan tangannya.
”Oh tidak, genggaman ini membuatku seperti akan meleleh, bagai es batu di atas bara api,” gumamku begitu menyambut uluran tangannya.
Begitu sampai di luar, kami bergabung dengan yang lainnya. Kami duduk di dekat Kaspian, tapi Rangga memintaku duduk di sebelahnya, bahkan ia belum melepas genggaman ini. Begitu hampir tengah malam, Rangga menarikku ke tempat yang agak sepi.
“Bi, ini buat kamu,” ujarnya setengah berdiri sambil megulurkan sebuah cincin.
“Cincinnya cantik, tapi ini buat apa?” tanyaku setelah cukup lama menganga karena tertegun.
“Iya, cincin ini cantik, secantik kamu. Ini buat nyatain cinta aku ke kamu, Bianca,” ucap Rangga lancar. Ia memasangkan cincin tadi ke jari manisku.
“Aku sayang sama kamu, Bianca. Aku mau kamu ada sama aku selamanya,”
Tanpa mengucap sepatah kata, aku langsung memeluk tubuh Rangga. Apa yang aku tulis di perahu kertas tadi ternyata langsung dijawab oleh Tuhan. Aku benar-benar merasa beruntung dan bahagia.


Maafkan Aku

Christin, ya nama itulah yang selalu membuatku sedih ketika aku mengingat dirinya. Menurutku dia adalah sosok orang yang baik, ramah, tidak sombong, murah senyum dan Kalem. Sifat Kalemnya itu sangat bertolak belakang dengan sifatku yang Tidak Bisa Diam, pada saat itu aku selalu menghindar dari dirinya itu semua karena aku tidak suka berteman dengan orang yang ‘Kalem’. Kakakku selalu berkata bahwa aku Jaim dan Sombong karena tidak mau berteman dengan dirinya. Tapi, setelah beberapa tahun, kami mulai menjalin persahabatan aku mulai bisa menerima Christin, kami dekat sangat dekat.
Tapi persahabatan kami tidak berlangsung lama, disaat aku mulai bisa menerima Christin, disaat aku sudah dekat dengannya, Tuhan mengambil dirinya orang yang sudah aku anggap sebagai sahabat. Waktu itu aku sedang tidur di kamarku, tiba-tiba saja kakakku membangunkanku dan berkata “Christin meninggal”.
Aku segera bangkit dari tidurku “Kakak serius” dengan terbata dan dengan mata yang berkaca-kaca aku menjawab pernyataan kakakku, dia menjawab dengan penuh hati-hati “Iya, dia udah Meninggal jam 4 tadi”.
Setelah mendengar kata-kata itu perasaanku menjadi bercampur antara kaget dan sedih. Aku sangat menyesal mengapa ini semua harus terjadi pada dirinya, aku merasa aku adalah orang yang bodoh yang hanya ingin bersahabat dengan orang yang memiliki sifat yang hampir sama dengan aku.
Dengan perasaan sedih aku mengantarkan Jasad Sahabatku ke tempat Peristirahatan Terakhirnya.
Kawan, Jangan pernah kita memaksakan kehendak kita kepada orang lain, Jangan pernah kita menjauhi orang lain karena sifatnya yang berbeda dengan kita, Karena kita nggak pernah tau Rencana Tuhan Kedepannya buat kita dan buat Orang itu :)


Akhir Penantian

Ketika rambutku rontok dengan perhelainya apa kamu masih mau membelainya?
Ketika tanganku tak bisa lagi menggenggam tanganmu, apa kamu masih mau menggenggam tanganku?
Ketika aku terbangun dari tidurku, lalu aku lupa akan semuanya, apa kamu akan mengingatkanku atau berusaha pergi dariku?
Lalu ketika kakiku lumpuh apa mungkin kau akan menggendongku. Dan ketika mataku tidak bisa melihat apa kamu mau menuntunku. Dan yang terakhir ketika detak jantung dan nafasku terhenti. Aku telah menjawab semua pertanyaanmu dik semuanya “pasti” tapi kenapa ketika semuanya belum aku lakukan kamu pergi begitu saja bagaikan angin lalu.
Sebulan lalu tepat di yayasan kanker aku mengajakmu disini, aku hanya bisa terdiam membawa balon dan permen untuk aku sumbangkan pada penyandang penyakit kanker. Aku terpaku disini mataku tertuju pada bangku tua yang sempat aku duduki saat bersamamu. 33 hari lalu…
“morning cha, lagi dimana?” pesan singkat dari sahabat kecilku dika.
“morning juga dik, aku di rumah.”jawabku singkat.
“aku sudah tiba di jakarta loh, kamu bisa temani aku bermain basket? Aku rindu bertanding basket bersamamu.” jawabnya.
“tentu kebetulan hari ini aku nggak ada kuliah, nanti siang jam 1 gimana? Di tempat biasa kita bertanding ya, masih ingat nggak hehe..” jawabku.
“kamu pikir otakku tertinggal di bangkok, taman komplek dekat rumahmu itu bukan.” jawabnya.
“yaps aku pikir sih begitu haha… Ya sudah aku tunggu loh jam 1.” jawabku.
“siap ibu bos..” jawabnya.
Aku segera bangun dari tempat tidurku, jujur aku ragu dengan bertemu dika kembali. Aku takut rasa itu kembali timbul kembali dimana rasa yang lebih dari sahabat yang aku pendam. Ya mungkin aku yang salah dari awal aku menyimpan rasa yang lebih bahkan aku sempat berfikir lebih aku bisa berpacaran dengan siapapun tapi bila aku menikah itu cuma sama kamu iya dika kamu orang yang telah lama aku tunggu. 5 tahun lalu ketika aku baru berumur 12 tahun aku berpisah dari dika. Dia harus pergi bersama keluarganya untuk pindah ke bangkok. Hingga tepat jam 1 nanti aku akan melihat sebuah pelangi yang sudah tak nampak disaat redanya hujan akan muncul di depan mataku.
Tepat jam 1, yaps aku akan menjemput sebuah pelangi iya tepat di taman komplek. Aku langkahkan kakuku menuju taman komplek, ketika aku sampai tepat di taman komplek aku melihat dari kejauhan seseorang memakai kursi roda dengan sweater berkupluk tidak henti melihatku. Aku kirim pesan singkat pada dika. “dimandose? Tidak lupa dengan janjimu bukan, atau kau takut melawanku hey pria tampan!”. Aku masih asik duduk di bangku taman sambil memegang bola basket. Seseorang berkusi roda itu menghampiriku. “hey caa, masih mengenaliku?” kata seseorang itu.
“kamu siapa, apa kita pernah bertemu?” jawabku heran.
“aku sahabt kecilmu yang sering sekali mengambil permen karetmu, dan menghabiskan makanan kesukaanmu, ingat bukan siapa aku?” jawabnya.
Entah aku hanya terdiam ketika aku tau seseorang yang ada di hadapanku saat ini adalah sahabat kecilku dika, air mataku jatuh dengan sendirinya tangan dan kakiku kaku seketika.
“hello caa, kamu terkejut dengan keadaanku?” kata dika sambil menepuk pelan pundakakku.
“tidak, kamu kenapa bisa seperti ini?.” tanyaku.
“aku mengalami kecelakaan 2 tahun lalu di bangkok, hingga kakiku lumpuh total. Apa kamu masih mau berteman denganku?” jawabnya.
“tentu, untuk apa aku malu sepertiya kita enggak perlu deh main basket. Gimana kalau kamu ke rumahku saja, bunda masak sayur asem plus ikan asin loh.” jawabku.
“boleh juga tuh udah lama banget deh gak ngerasain makanan itu eemmm..” katanya.
“oke kalau gitu capcusss.” jawabku sambil mendorong laju kursi roda dika.
Waktu begitu cepat berlalu dika pun sudah dijemput untuk pulang oleh mamahnya, padahal rasa kangenku pada dika masih begitu dalam hihihi..
“ehhh caa, karena jam 1 tadi kita nggak jadi latihan basket. Berarti besok kamu harus temenin aku ke yayasan kanker yang ada di daerah jakarta okeh, besok gantian kamu yang ke rumahku ya. Ingat jam 1 siang okeey.” kata dika berteriak padaku.
“baikalaaaah atur saja dikaa…” jawabku sambil menutup pintu gerbang.
Keesokkan siang tepat pukul 13.00 aku menepati janjiku untuk mengantatkan dika menuju yayasan kanker di jakarta.
“dik, sudah siap belum?” tanyaku.
“iya ini sudah kok, yuk berangkat.” jawabnya.
Kami pun pergi menuju yayasan kangker, aku melihat wajah dika yang begitu senang sekali. Sudah lama aku tidak melihat senyum indahnya ini, bagaikan pelangi indah dan banyak warna di senyumnya…
Sesampai di yayasan kanker.
“permisi pak, saya ingin menghibur dan bersosialisasi dengan pasien yang ada disini apa boleh?” tanyaku pada petugas yang sedang berjaga.
“tentu saja boleh kebetulan pasien-pasien sedang bermain di belakang bersama suster, mari saya antar.” kata penjaga tersebut.
Aku dan dika mengikuti petugas yang membawa kami menemui pasien-pasien kangker tersebut, sesampai di belakang aku sibuk membagikan balon dan mainan untuk anak-anak kecil yang terkena penyakit kanker. Pembagianku terhenti aku lihat ke arah dika dia tertidur pulas. Aku hampiri dia ya tuhan dia bukan tertidur melainkan dia pingsan, hidungnya mengeluarkan darah. Aku putuskan untuk membawa dika ke rumah sakit terdekat, dan aku hubungi tante sindy (mamahnya dika).
Sesampai di rumah sakit pikiranku kacau entah ada apa dengan dika hingga dia harus masuk ke rumah sakit dan itu ruang ugd, ada apa ini tuhan.
“gimana keadaan dika sayang?” kata tante sindy yang baru saja datang.
“entah tan, dokter belum keluar dari ruangan ugd.” kataku.
“semoga aja adit masih ada waktu lagi.” jawab tante sindy.
“maksud tante.?” tanyaku heran.
“sebenernya 1 tahun lalu dika divonis kangker otak, ini permintaan terakhirnya dia ingin pindah ke Indonesia menemui kamu. Bahkan seharusnya hari ini tepatnya di yayasan kanker itu dia ingin menyatakan cintanya pada kamu caa.” kata tante sindy.
“jadi kaki dika dan kepala botaknya itu karena kanker tante, dia bilang sama aku dia kecelakaan enggak tante ini semua itu bohong. Semua itu bohong kan tante bohong!!!” tangisanku semakin deras entah apa yang aku dengar aku kesal, kenapa kamu bohongin aku dik..
“sabar sayang, kita harus kuat, dika pasti nggak seneng liat kita begini.” kata tante sindy sambil memeluk dan membelaiku.
“permisi, dengan keluarga dika diandra.” dokter keluar dari ruangan ugd tersebut.
“saya ibunya dok.” kata tante sindy.
“maaf saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi sel kanker yang dika indap sudah tersebar luas hingga ke sel saraf hingga dia tidak bertahan lagi.” jawab dokter.
Aku berlari menuju mobilku tangisanku benar-benar meledak, kamu doang yang aku tuggu, kamu doang yang aku nanti tapi, aku memeluk jaket milik dika yang masih di genggamaku, ada 4 pack permen karet yang sering dulu aku makan dan sepucuk surat yang bertuliskan
Ketika rambutku rontok dengan perhelainya apa kamu masih mau membelainya?
Ketika tanganku tak bisa lagi menggenggam tanganmu, apa kamu masih mau menggenggam tanganku?
Ketika aku terbangun dari tidurku, lalu aku lupa akan semuanya, apa kamu akan mengingatkanku atau berusaha pergi dariku?
Lalu ketika kakiku lumpuh apa mungkin kau akan menggendongku. Dan ketika mataku tidak bisa melihat apa kamu mau menuntunku. Dan yang terakhir ketika detak jantung dan nafasku terhenti. Aku mencintaimu caa, sejak awal.
Aku pun mencintaimu dik, ketika detik waktu untukmu sudah berhenti.
Tamat


Cafe Pertigaan Jalan

“Keni, gua pulang dulu. Jangan lama-lama bacanya, cepet pulang oke?”
“Iya, sebentar lagi juga selesai. Lagi seru nih,” kata Keni yang tak berpaling dari bukunya.
“Gak ada alasan lain apa? Ya udah, deh. Aku duluan ya…”
“Iya,” ucap Keni seraya melambaikan tangannya ke arah Zelin.
Tersisalah Keni seorang diri di perpustakaan. Universitas tempatnya mengasah ilmu itu masih ramai akan ocehan para mahasiswa yang juga hendak pulang. Tapi Keni seolah tak peduli, Ia tetap duduk santai sembari membaca novel.
Cukup lama Keni berada dalam perpustakaan, hingga kini tempat itu benar-benar lengang. Ia pun menyudahi aktifitasnya.
“Kayaknya sebentar lagi mau turun hujan,” ucapnya seraya menatap langit yang mulai berawan.
Keni mulai melangkah meninggalkan perpustakaan. Ia berjalan melewati koridor seraya memainkan ponselnya. Sesekali terdengar Ia bersenandung lirih.
Rumahnya tidaklah jauh dari universitasnya sekarang. ia lebih sering berjalan kaki untuk menuju kampus dari pada mengayuh sepeda kesayangannya. Supaya ada alasan kalau-kalau Ia pulang telat hanya untuk mampir sebentar di Café.
Sore sepulang dari kuliah, Keni berjalan seperti biasa. Ia akan melewati taman kota yang penuh dengan bunga dan kupu-kupunya. Jika berjalan, Ia mempunyai kesempatan lebih untuk melihat cantiknya bunga-bunga di taman. Tak jarang pula angin saat sore berhembus kencang. Seolah ikut menerbangkan penat dan bebannya.
“Yah! Gerimis!” ucapnya seraya menengadahkan tangannya. Keni lalu mulai berjalan sedikit cepat, Ia menuju sebuah Café di pertigaan jalan yang tak cukup jauh dari taman.
Ia mulai memasuki Café tersebut. “Santai sebentar dulu,” gumamnya. Keni mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang terkesan simple itu. Sesaat kemudian Ia temukan sebuah kursi yang kosong dekat jendela. Ia menghampiri tempat itu.
Ia lalu memesan Hot Cappucino kesukannya pada salah seorang pelayan Café tersebut.
Keni kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel. Ia seperti tidak tertarik pada hal lain lagi.
“Hai! Boleh gabung, ‘kan?” Sebuah suara menegurnya. Keni beralih dari layar ponselnya. Diam untuk sesaat, hingga Ia sadar akan dirinya sendiri.
“Boleh, kok. Duduk aja,” jawabnya gugup. Keni terpaku pada wajah lawan bicaranya. Sedikit terhalang oleh topi yang dikenakan pemuda di hadapannya ini.
“Kenapa liatnya serius banget?” Tanya sang pemuda yang merasa tidak enak karena terus diperhatikan.
“Em… itu, topi kamu,” ucapnya yang belum hilang dari rasa gugup. Bohong jika Keni menatap heran pada topinya, Ia menatap wajah pemuda yang duduk di hadapannya.
“Oh, iya. Maaf lupa dilepas.” Kata pemuda itu seraya mengulas senyum.
Keni terdiam lagi. Wajah pemuda itu kini terpampang jelas di hadapannya. Mata pemuda itu berbinar kala tersenyum beberapa saat lalu.
Keni kembali tersadar saat seorang pelayan mengantarkan pesanannya. Ia meletakkan ponselnya.
“Kamu nggak pesen?” Tanya Keni.
“Nggak, aku masih kenyang.” Pemuda itu mengulas senyum lagi.
“Nama gua Iqbal,” lanjut pemuda itu memperkenalkan diri.
“Nama gua Keni,” balas Keni seraya menunjukkan senyumnya.
“Pulang terakhir lagi ya?” Tanya Iqbal.
“Iya, kok kamu tau?”
“Gua tau lo suka baca novel di perpustakaan,” kata Iqbal.
Keni terkekeh mendengar pernyataan Iqbal, “iya, udah kebiasaan.”
Iqbal menggulung lengan kemejanya, “Gua anak sastra. Gua juga sering ke perpustakaan dan sering liat lo ada disana.”
Keni teringat suatu hal. Yang sedari tadi berbincang dengannya ternyata adalah seniornya di universitasnya saat ini. Sosok yang terkenal akan keramahan dan prestainya yang sangat bagus. Yang membuatnya semakin terkenal tentulah wajahnya yang amat berkarisma.
“Eh, diem dulu.” Perintah Iqbal membuyarkan pikiran Keni. Iqbal berdiri dari duduknya. Ia mengulurkan tangan kanannya mengarah pada kepala Keni. Ia mengambil selembar daun kecil yang telah menguning.
“Sorry, mungkin daun ini nyangkut di rambut lo.” Iqbal menunjukkan daun yang baru Ia ambil dari rambut Keni, membuangnya ke lantai dengan cuma-cuma. Keni lalu sedikit menundukkan kepalanya.
“kok, lo nunduk gitu? Sorry ya, kalo bikin kaget.” Iqbal kembali duduk.
“Oh, enggak kok… Kak,” ucap Keni dengan suaranya yang menahan gugup.
Raut wajah Iqbal berubah. Mengisyaratkan bahwa Ia tak mengerti suatu hal.
“Lo panggil gua, Kak?” Tanya Iqbal.
Keni tertawa, menutupi rasa gugupnya, “iya. Kakak tiga semester di atas ku. Itu artinya Kakak ini seniorku.”
Iqbal ikut tertawa, “kok lo bisa tau?”
“Iyalah, Kakak ini kan bintang di kampus. Cuma, aku telat taunya.”
“Oh, lo tau juga ya,” Iqbal menganggukkan kepalanya.
“Lagian, banyak mahasiswa di kampus kita yang ngomongin tentang Kakak,” tutur Keni seraya menyesap hot cappucinonya.
“Jadi lo dengerin mereka yang ngomongin tentang gua?” Sindir Iqbal.
“Enggak sering juga kok, Kak.”
“Enggak sengaja denger atau kebiasaan denger, nih?”
Keni menyunggingkan senyumnya dengan rasa malu. Ia lalu menjawab, “mungkin enggak sengaja denger, Kak.”
“kok ada mungkinnya?” Iqbal terus mendesaknya. Ia tersenyum simpul.
“Ya… enggak sengaja denger, Kak” Keni terus mengelak. Iqbal yang melihat tingkahnya hanya menahan tawa.
“Dari tadi lo panggil gua Kak, kan gua belum kasih izin,” singgung Iqbal. Lagi-lagi Ia mengumbar senyum.
Keni terdiam. Ia lagi-lagi dibuat malu akan pernyataan Iqbal. Rasa canggung mulai merambahi dirinya.
Iqbal tertawa melihat raut wajah Keni, “enggak apa-apa, kok. Santai aja. Lo boleh panggil gua Kakak.”
Iqbal mengulangi senyumnya. Hal kecil yang bisa membuat sebagian mahasiswa di universitasnya euforia. Keni hanya bisa tersenyum kikuk, jantungnya bekerja lebih cepat. Ia semakin merasa gugup.
Detik itu beralih menghampiri menit, membawanya berlalu dari menit pertama ke menit-menit berikutnya. Iqbal dan Keni terlihat lebih akrab. Sesekali terdengar tawa dari keduanya karena hal yang mereka bincangkan. Hingga hilang semua rasa canggung, malu dan sejenisnya. Menghabiskan waktu sejenak seraya menanti hujan reda. Sore itu, di Café pertigaan jalan, 18 Juni 2008.


Amanah Dari Nenek

Pada suatu hari, tinggalah seorang gadis kecil yang bernama Alinda Salsabila. Panggilannya Alin. Ia tidak punya keluarga karena keluarganya meninggal setelah kejadian tsunami. Karena sudah tidak memiliki keluarga lagi, Alin pun hidup bersama seorang nenek di desa yang berdekatan dengan Hutan Asri. Memang, itu bukan nenek kandungnya. Tetapi, nenek itu sangat menyanyangi Alin.
“Nenek… Aku laparrr…” ucap Alin.
“Baiklah, nenek akan menanak beras terlebih dahulu.” jawab nenek.
Nenek pun segera menanak beras. Selagi berasnya dinanak, nenek berkata sesuatu.
“Alin, nenek ingin mencari lauk pauk dulu.” ucap nenek.
“Nenek akan membelinya dimana?” tanya Alin.
“Nenek akan membelinya di Pasar Serba Ada.” jawab nenek.
“Tapi, jangan lama-lama ya nek.” ucap Alin.
“Iya, tapi ada satu pesan untuk kamu. Jangan membuka tutup panci itu walaupun sudah berasap. Kamu baru boleh membuka tutup panci itu setelah nenek memerintahkan kamu! Oke?” jelas nenek.
“Iya nek.” jawab Alin.
Nenek pun segera menuju Pasar Serba ada. Di pasar tersebut ada makanan mentah dan juga ada yang sudah matang. Sesampainya di Pasar Serba Ada…
“Bu, saya beli bakso mie 2 dibungkus ya bu.” pesan nenek.
Si penjual pun segera mengambilkan makanan yang dipesan nenek. Nenek membeli makanan matang karena nenek tidak bisa memasak. Nenek hanya bisa memasak nasi dan air. Sudah itu saja.
Di rumah…
Alin ingiiin sekali membuka tutup panci itu, sebab ia sangat penasaran bagaimana isinya, bagaimana teksturnya, dan bagaimana keadaaan nasi tersebut saat di dalam panci.
Karena rasa penasaran Alin semakin membesar, Alin pun langsung membuka tutup panci itu. Dan betapa terkejutnya ia setelah tahu bagaimana isinya. Setelah ia mendengar bunyi langkah kaki, ia langsung buru-buru menutup panci tersebut.
Nenek datang…
“Alin, apa yang kamu lakukan?” tanya nenek geram.
“Aku… aku tidak melakukan apa-apa nek.” jawab Alin bohong.
“Buktinya, asapnya sekarang meluap besar sekali dan berasnya tumpah kemana-mana.” seru nenek marah.
“Pasti kamu buka kan tutup pancinya?” tanya nenek kepada Alin.
“Ti… tidak nek. Aku tidak membuka tutup pancinya.” jawab Alin bohong.
“Jujur Alin!” seru nenek marah.
“Iya nek, aku membuka tutup pancinya.” jawab Alin.
“Kamu tidak ingat pesan nenek sebelum pergi ke pasar. ‘Jangan membuka tutup panci itu walaupun sudah berasap. Kamu baru boleh membuka tutup panci itu setelah nenek memerintahkan kamu!’. Kamu tidak bisa dipercaya, Alin.” seru nenek masih marah.
“Maafkan Alin nek. Terserah nenek mau ngehukum Alin dalam bentuk apapun. Yang penting nenek mau memaafkan Alin.”
“Baiklah nenek memafkan kamu. Dan, hukuman yang akan nenek berikan kepada kamu tidak berat. Hukumannya yaitu, mencuci piring selama tiga hari selesai makan.” jawab nenek.
“Tapi, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang aku lakukan tadi.” ucap Alin.
“Biarkan, yang paling penting adalah Alin jangan mengulangnya kembali.” jawab nenek dengan lembut.
“Terima kasih ya nek.” kata Alin.
“Iya, sama-sama Alin.” jawab nenek.
Setelah dinasihati oleh nenek, Alin pun sadar, agar dipercaya orang lain, kita harus menaati apa yang telah diperintahkan. Dalam bentuk apapun.


Rumahku

Aku membuka pintu rumahku setelah aku membuka kuncinya, dengan perlahan aku membukanya. Ku ucapkan salam tapi tak ada yang menjawab. Sejenak aku duduk di kursi ruang tamu, aku menghirup udara suasana rumahku yang selalu ku rindukan. Aku menutup mataku perlahan mencoba untuk mengingat kembali semua kenangan di rumahku saat terakhir kali aku meninggalkannya.
Aku berdiri kembali, mataku memandang ke arah jarum jam dinding. Aku tiba-tiba menangis tak mengerti, jam itu telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Keluargaku menjanjikan pada pukul itu, kami akan pergi ke tempat yang selalu ku harapkan. Ku palingkan pandangan ke arah kanan dinding, terdapat pigura foto yang tertempel di sana. Ada foto keluargaku tanpa ayah, dan foto semua pribadi masing-masing.
Ku pandangi foto keluarga tanpa ayah itu, lalu aku mengambil foto keluarga yang ada di dalam dompet milikku. Semuanya terlihat sama, kedua foto keluarga itu tidak terdapat foto ayah. Tak pernah berubah, ayahku selalu sibuk mementingkan pekerjaannya.
Aku memutar pandanganku ke arah kiri dari pundakku, aku melihat televisi yang tak seperti dulu lagi. Kini, ukurannya lebih besar dan lebih bagus dibandingkan sebelumnya. Aku berharap, ayahku juga bisa berubah seperti televisi yang ada di rumahku itu. Rasanya seperti tidak mungkin tapi apa salahnya jika aku berharap seperti itu.
“Hallo…,” ucapku, berharap ada yang menjawab.
“Hallo… hallo… hallo…” ucapku lagi, aku melambaikan tangankur ke setiap sudut rumahku. Tak ada yang membalas lambaian tanganku. Pikirku semuanya bodoh tapi rupanya aku yang terlihat gila.
Aku membuka pintu kamarku, ku lihat warna cat temboknya belum berubah. Hijau adalah warna cat tembok di kamarku, padahal aku menyukai merah muda. Ku rapatkan kedua tanganku ke dinding kamarku, kurasakan dari sentuhan tanganku ke dinding kalau udara di kamarku lembab. Itu adalah pengaruh karena aku sudah lama tak mengurus kamarku dan tak ada yang mengurusnya selain aku semenjak bibi tak tinggal di rumah kami lagi.
Ku tarik kain seprei yang sudah berbau itu karena telah lama tak dibersihkan, ku ganti dengan yang baru. Semua buku bacaanku yang disimpan di kamar jadi kotor terkena debu, aku membersihkannya dengan kemoceng yang tergantung di dinding kamar samping lemari besar milikku.
Ku alihkan pandanganku ke samping kanan dekat lemari belajar, ada komputer lamaku yang sudah terlihat usang monitornya, begitu pun semua kabel dan CPU. Aku membersihkannya perlahan, belum saja lama aku membersihkan semua isi di dalam kamarku, aku sudah banyak mengeluarkan keringat. Mungkin karena aku tidak terbiasa bekerja seperti ini.
Saat aku menyapu lantai, aku menemukan foto di bawah meja belajarku, ada fotoku bersama bibi jannah. Aku menangis tak sadarkan diri, rupanya aku sangat merindukan dia. Dia sudah lama tak mengunjungi rumah ini lagi semenjak aku memvonis nya mencuri tablet mahal milikku yang baru ku beli tiga minggu sebelumnya. Aku merasa bersalah padanya, tabletku sudah ditemukan di kelasku saat aku lupa membawanya lagi. Aku sudah sering minta maaf tapi ia hanya mengangguk saja. Foto itu masih saja kupandangi, ku tempelkan di dinding kamarku. Tepatnya jika aku bangun tidur, foto itu lah yang akan pertama aku lihat saat aku membuka mata.
Aku segera selesai membersihkan kamarku, kemudian aku menyemprotkan parfum milikku ke tiap sudut di kamarku. Akhirnya, aku selesai membersihkan kamarku.
Handuk dan tempat sabun mandi pribadi milikku sudah tersedia di kamar mandi, aku segera mandi. Kunci pintu di kamar mandiku rusak, aku tak mempedulikannya.


Hal Kecil

Jam alarm ku berbunyi tepat pukul 05.30, aku segera bangun lalu sholat subuh. Karena ini hari aku sekolah aku bergegas sarapan, mandi lalu segera berpamitan kepada ayah dan ibuku. Saat menuju ke sekolah, aku melihat ada poster perlombaan menyanyi.
“Sepertinya perlombaan ini sangat menarik dan mungkin aku bisa membantu ayah dan ibu mencari uang, karena hadiahnya juga lumayan besar”, kataku dalam hati. Setelah itu aku menuju ke sekolah.
Aku bertemu temanku saat di depan gerbang sekolah.
“Hay adi, tahu gak tadi aku lihat poster perlombaan menyanyi loh. aku mau kamu membantuku untuk latihan perlombaan, kamu mau gak?” kataku sambil memegang bahu adi.
“Mau saja, tapi untuk apa kamu ikut lomba menyanyi?”.
“Begini, aku mau membantu ayah dan ibu mencari uang karena akhir-akhir ini kondisi keuangan keluargaku sedikit berkurang, jadi aku mau membantu ayah dan ibu.”
“Wah, kamu memang anak yang baik ya, oke nanti sehabis sekolah kita latihan” kata adi sambil menunjukan jari jempolnya.
Kami pun menuju ke kelas pelajaran pertama yaitu pelajaran bahasa indonesia tentang puisi. Aku mendengar dan memperhatikan semua yang ibu guru terangkan supaya aku dapat lebih mengerti apa yang diajarkan ibu guru, setelah itu ibu guru menyuruh kami untuk membuat puisi dan membacakannya.
“Siapa yang mau maju ke depan kelas dan membacakan puisinya, nanti akan ibu beri nilai 90 tapi dengan ekspresi”.
Suasana kelas menjadi hening, karena tidak ada yang mau maju dan membacakan puisinya akhirnya aku pun maju. Aku pun membaca puisi dengan judul matahari
Matahari, kau lah yang pertama yang kulihat di pagi hari
Kau menerangi bumi dan alam seisinya

Aku membaca puisi dengan ekspresi yang tenang dan baik.
Bait puisi yang kubaca akhirnya selesai juga. Ibu guru memberi ku nilai, lalu mempersilakan aku duduk. Jam menunjukan pukul 13.00, Bel pulang sekolah berbunyi aku pulang sekolah bersama adi menaiki sepeda, tapi sebelum pulang aku dipanggil oleh ibu guru.
“Ini bener alwan kan, siswa kelas 9F yang ibu suruh membuat puisi, benar”.
“Iya ibu, memangnya ada apa?.”
“begini nak ibu ingin kamu ikut lomba menyanyi untuk mewakili sekolah kita, karena suara kamu yang bagus itu walaupun kamu laki-laki ibu suka dengan suaramu”. kata ibu guru
“masa sih haha, baiklah bu jadi kapan kita latihan menyanyi bu?” sambil tertawa kecil
“Mungkin nanti sore jam 15.40, oke”.
“Oke, bu tapi, bolehkah aku mengajak adi juga.”
“Tentu saja boleh supaya kamu bisa lebih semangat latihan”.
Akhirnya aku pun pulang dengan hati gembira, aku memberi tahu kabar baik ini kepada ayah dan ibu. Setelah selesai makan dan istirahat aku pun langsung ke rumah ibu guru, betapa terkejutnya aku bahwa yang kulihat adalah kumpulan piala di dekat ruang keluarga
“Gimana menurut kamu alwan, banyak pialanya, kan”. kata ibu guru sambil menghidangkan minuman dan makanan kecil untukku
“Iya bu, tapi ini piala apa ya?”
“Ini piala lomba nyanyi, ada yang antar daerah, kota dan masih banyak lagi”.
“Wah, ibu hebat sekali, tapi apa aku bisa seperti ibu mempunyai banyak piala?”
“Ya tentu bisa kamu hanya perlu latihan, berdoa dan berusaha mungkin kamu bisa seperti ibu”. kata bu guru sambil tersenyum
“Baiklah, bu guru”. kataku sambil membalas senyum ibu guru. Kami pun memulai latihan bernyanyi dari latihan pernafasan yang tepat dan ekspresi bernyanyi agar lebih menjiwai lagi.
Setelah pukul 17.30 aku dan adi berpamitan kepada ibu guru dan mengucapkan terimakasih, saat aku dan adi dalam perjalanan kami melihat mobil berhenti di depan kami. Keluar 2 orang anak dari mobil itu
“Kamu Alwan, kan anak Smp Tunas Bangsa itu”.
“Benar, memang ada urusan apa?” kataku dengan penasaran
“Kami cuma ingin bilang sebaiknya kamu menyerah saja dari perlombaan menyanyi itu jika tidak akan tahu akibatnya” kata seorang anak itu
“Sembarangan, memang kamu siapa menyuruh-nyuruh orang untuk menyerah”. kata adi dengan sedikit membentak. Lalu kedua anak itu menuju ke mobil dan pergi
“Sudah lah adi biarkan mereka bicara apa adanya, kita harus membuktikan kepada mereka bahwa mereka itu salah.” kataku sambil menenangkan adi.
Kami pun pulang ke rumah masing-masing dan istirahat, aku pun sampai di rumah ternyata ada kabar ibuku sedang sakit tifus dan harus dibawa ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku dan ayah langsung menuju rumah sakit. saat di rumah sakit aku melihat ibu dengan muka pucat
“Ibu tidak apa-apa, kan?”. kataku sambil memegang tangan ibu
“Ibu tidak apa-apa nak, ibu hanya sedikit lelah dan butuh istirahat saja sebaiknya kamu pulang kan besok kamu mau lomba nyanyi”.
“Baiklah bu, doakan biar alwan menang ya”. kataku sambil tersenyum
“Tentu saja, nak”. kata ibu sambil membalas senyum ku.
Keesokan harinya aku menuju tempat perlombaan, disana banyak peserta dengan suara yang indah dan bagus
“Ingat Alwan kamu cuma perlu tenang dan jangan gugup ketika di atas panggung”. kata bu guru dengan sedikit membisik
“Baik, bu aku akan memberikan yang terbaik”. sahutku sambil tersenyum. Satu demi satu orang ada yang lolos dan ada yang tidak lolos, saat giliranku tampil hatiku deg deg-an aku takut kalau nanti penampilan ku tidak bagus dan dicemooh tapi apa yang terjadi ternyata aku lolos dan masuk ke final
“Ibu guru, adi aku lolos dan masuk final nih”. kataku sambil berlari
“Wah hebat kamu Alwan”. puji adi
“Hebat tapi kali ini kamu harus memberikan yang terbaik dan tidak perlu gugup, oke”.
“Oke ibu guru”.
Aku pun menuju ruang tunggu tapi ada keanehan yang terjadi, aku melihat anak yang menyuruhku menyerah kemari dan ternyata dia adalah perwakilan dari Smp negeri 2 yang terkenal dengan suaranya dan penampilannya yang bagus. Semangat aku pun sedikit pudar karena sainganku kali ini lebih berat, aku hanya bisa berdoa dan memohon kepada Tuhan untuk memberiku kemudahan.
Sebelum tampil aku ingat kata-kata ibu dulu saat aku mengikuti lomba puisi yaitu “Untuk menjadi yang terbaik tidak perlu dengan piala atau dengan penghargaan tetapi dengan kerja keras dan usaha”. Mengingat nasihat ibu semangat ku kembali tinggi dan aku pun menuju panggung, aku bernyanyi dengan merdu, tenang dan tidak gugup.
Setelah selesai tampil ada ibu guru dan adi melihat penampilan ku
“Bagaimana Alwan apakah kamu yakin akan menang”. kata ibu guru
“Itu tergantung, aku hanya perlu berdoa saja dan melihat hasil dari kerja keras ku itu”. kataku sambil tersenyum.
Ketika juri mengumumkan para pemenang aku merasa takut
“Baiklah juara ketiga adalah perwakilan dari Smp budi dharma yaitu Dimas Adi laksa, dan juara kedua adalah perwakilan dari smp negri 2 yaitu airlangga saputra dan ini dia yang kita tunggu saudara-saudara juara pertama yaitu adalah…”. ketika itu hatiku merasa gugup dan takut jika nanti aku bukan juara mungkin aku akan mengecewakan ayah dan ibu
“Juara pertama yaitu perwakilan dari smp tunas bangsa Muhammad Alwan trisatya.” mendengar namaku aku kaget dan senang sekali bahwa juara pertama adalah aku, akhirnya aku menuju panggung untuk mengambil piala dan hadiah uang tunai sebesar 3 juta rupiah. Aku pun pulang dengan hati gembira dan memberi tahu kabar baik ini kepada ayah dan ibu, dan sejak saat itu aku pun menjadi penyanyi cilik yang berbakat.
TAMAT


Pelangi di Hari Kelabu

Di sinilah hidup seorang gadis remaja yang cantik, di sebuah rumah sederhana yang awalnya merupakan tempat yang tidak layak untuk ditempati namun ia bisa menyulap tempat itu menjadi tempat yang nyaman walau dengan keterbatasan fisik.
Pelangi! Yap!! Ia sangat menyukai pelangi, baginya saat melihat pelangi ada satu titik semangat yang muncul di hatinya untuk menjalani hidup yang mungkin kini tak berarti lagi baginya. Namun entah kapan ia bisa melihat indahnya pelangi lagi, semenjak suatu kejadian tragis yang membuatnya kehilangan segalanya.
Malam itu menjadi malam duka yang membuatnya hampir gila. Sebuah kecelakaan maut yang merenggut nyawa ibu dan ayahnya, orang-orang yang dia miliki itu pun telah tiada, dan kecelakaan itu pula yang menyebabkan ia menderita sepanjang masa. Hanya kegelapan yang dapat ia lihat di setiap harinya. Ia mengalami kebutaan hingga menyebabkan ia tak dapat melihat indahnya dunia.
Kecantikan tidak hanya ada di wajahnya namun juga hatinya tapi setelah kejadian buruk yang menimpanya itu, dia menutup dirinya sendiri, tak ada tawa tak ada bahagia, tak ada teman dan tak ada satu pun orang yang menemaninya. Hanya ada kegelapan dan derita, ialah Pelangi, seorang gadis yang hanya bertemankan kesunyian. Pelangi yang awalnya ramah dan selalu terbuka kepada siapapun kini sosok itu telah berubah karena tekanan batin yang selalu menyiksanya.
Saat seminggu sebelum menuju Ujian Nasional SMP yaitu saat Pelangi berumur 15 tahun, Pelangi dinyatakan dikeluarkan dari sekolahnya, sekolah bertaraf internasional itu enggan menerima murid cacat seperti Pelangi. Demi mempertahankan nama baik sekolah akhirnya Pelangi pun dikeluarkan dari sekolah itu. Kini umur Pelangi sudah 17 tahun, 2 tahun Pelangi lalui dengan kesendirian, hidupnya benar-benar hancur, ia hanya bisa berdiam diri di rumah sederhana. Makan pun kadang tak tentu karena ia tak memiliki siapapun lagi.
“Ngi. Kita jalan-jalan yuk! Apa lo gak bosan tinggal di rumah ini terus, refresing donk Ngi!!” ujar sahabat Pelangi.
“Gue gak akan pernah bosan Ney, semua tempat yang gue datangin pasti akan sama aja, semuanya gelap. Gue kan buta! Mana mungkin gue bisa jalan-jalan kayak lo” ungkap Pelangi penuh kepedihan.
Neysa! Yap!! Siapa dia? Terkadang dia adalah seseorang yang sangat Pelangi sayangi namun juga terkadang Neysa adalah orang yang sangat ia benci. Sahabat yang meninggalkannya disaat dia sedang terpuruk. Semenjak kecelakaan dan Pelangi buta, Neysa meninggalkan Pelangi pergi ke luar negeri, entah apa alasannya. Pelangi membenci Neysa dan ingin melupakan sahabat yang dulunya adalah sahabat terbaiknya itu. Setelah 2 tahun Neysa kembali meminta maaf pada Pelangi.
Beribu kata maaf telah Neysa ucapkan, namun hati Pelangi sama sekali tak tergerak untuk memaafkannya. Sampai saat Neysa berpamitan kepada Pelangi untuk kembali lagi keluar negeri, Pelangi langsung memeluk Neysa. Di balik kebenciannya, ia sungguh takut kehilangan Neysa lagi. karena hanya Neysa yang ia miliki.
“Ma. Pa. Pasti di dalam sana gelap kan? Sama donk kayak Angi, disini juga gelap banget. Bahkan Angi aja gak tau sekarang siang atau malam” lirih Pelangi dengan isak tangis.
“Ma. Pa. Kenapa hidup ini begitu kejam sama Angi? Kenapa harus Angi sendiri yang selamat dari kecelakaan itu? Angi rindu Mama dan Papa. Angi sedih! Angi pengen ngelihat lagi supaya bisa memperbaiki semua ini!” Angi semakin tenggelam dalam tangisnya. Neysa yang menemaninya pun ikut menangis, melihat sahabatnya terpuruk.
“Ngi. kita pulang aja yuk.. langit udah mendung nih, kayaknya mau hujan!” ajak Neysa.
Sesampainya di rumah, hujan turun dengan derasnya, sederas air mata yang mengalir. Kini cuaca pun turut mengerti akan suasana hati Pelangi yang mendung. “Gimana Ney? Ada Pelangi?” Pelangi bertanya setelah hujan reda. “Ada Ngi. Pelangi nya indah banget” Neysa terkagum saat melihat pelangi dari jendela rumah Pelangi.
“Andai aja gue bisa ngeliat pelangi lagi! Tapi kayaknya gak mungkin” ujar Angi pesimis.
“Lo harus sabar ya, gue yakin kok suatu saat nanti pasti lo bisa ngelihat lagi, lo jangan menyerah!” Ujar Neysa menguatkan sahabatnya.

“Angiii awaaas!!!” teriak seseorang saat sebuah mobil Avanza hitam melaju ke arah Pelangi dengan langkah sigap orang itu mendorong tubuh Pelangi agar tidak tertabrak. Alhasil Pelangi selamat tapi tidak dengan orang itu, darah mengalir di sekujur tubuhnya sedangkan mobil tadi telah melaju tanpa rasa bersalah sedikitpun. Orang-orang sekitar mulai mengerumuni korban kecelakaan itu.
“Neysa! Bangun! Jangan tinggalin aku Ney!” ucap Pelangi dengan isak tangis.
Neysa dilarikan ke rumah sakit, Ibu dan Ayahnya menangis histeris melihat anaknya yang kini bertarung dengan maut. Kepedihan Angi semakin bertambah, ia hanya berdoa agar sahabatnya dapat tetap bertahan. Saat dokter keluar dari ruang tempat dimana Neysa dilarikan, Ibu Neysa langsung bertanya keadaan anaknya, namun dokter hanya menunduk dengan wajah penuh penyesalan.
“Anak saya selamat kan dok? Lakukan apapun untuk anak saya. Jangan biarkan Neysa pergi dok!” bentak Ayah Neysa kepada dokter. Pelangi hanya bisa mendengar semua itu dalam kegelapan.
“Maafkan saya Pak. Neysa tidak dapat bertahan lama, benturan di kepalanya sangat keras, silahkan bapak dan ibu melihatnya. Mungkin ini saat terakhirnya!” ujar dokter.
Ibu dan Ayah Neysa langsung masuk ke ruang itu, namun saat Pelangi pun hendak masuk juga, Ibu Neysa membentaknya. “Pergi kamu! Ini semua karena kamu! Neysa begini karena kamu! Kamu tidak pantas ada disini. Anak saya sekarat karena ingin menolong kamu. pergi!” ujar Ibu Neysa. Pelangi hanya bisa tertunduk dengan tangisan.

“Neysa, ini Mama nak. Kamu harus bertahan!” ucap Ibu Neysa. “Ma, jangan membenci Angi! Ini semua bukan salah Angi! Ini semua udah takdir. Neysa senang bisa membantu Angi!” ucap Neysa terengah-engah.
“seharusnya kamu tidak perlu membantu dia. Lihat akibatnya nak. Kamu jadi seperti ini! Papa dan Mama tak akan mungkin bisa memaafkannya!” ujar Ayah Neysa. Sejenak Neysa terdiam.
“Ma, Pa. Angi adalah sahabat terbaik Neysa. Inilah takdir Neysa. Allah mengirim Neysa ke Angi untuk membantunya melewati masa-masa gelapnya. Ma, Pa. mungkin ini lah permintaan terakhir Neysa. Neysa harap Mama dan Papa mau mengabulkannya” ujar Neysa.
Kedua orangtuanya hanya dapat terisak dalam tangis melihat anaknya sekarat.
“Nafas ini sudah terasa sangat berat Ma, Pa. Neysa mohon. Berjanjilah, jangan membenci Angi. Dia sahabat terbaik Neysa!”
3 minggu berlalu…
Dear sobatku, Pelangi.
Aku berharap saat kamu membaca ini, kamu sudah bisa melihat lagi dan mungkin aku sudah pergi ke alam yang sangat jauh. Jangan bersedih sobatku, karena aku tak ingin lagi bulir bening dan asin itu mengalir di pipi mu.
Melewati hari-hari bersama mu adalah saat-saat yang indah dalam hidupku. Maaf karena selama 2 tahun kemarin aku menghilang dan meninggalkanmu. Maaf karena aku tak menemanimu disaat-saat kamu terpuruk. Sobat, aku ingin bercerita tentang satu hal, alasanku meninggalkanmu adalah untuk berjuang melawan penyakit lambungku yang sudah kronis. Aku bersyukur setelah aku dinyatakan sembuh oleh dokter dan yang paling membuatku bahagia adalah saat aku tau aku bisa bertemu denganmu lagi.
Tapi mungkin inilah takdirnya. Aku ditakdirkan bukan untuk di sampingmu tapi untuk membantumu. Tapi kamu tenang aja, aku akan selalu bersamamu, bersama melihat indahnya pelangi.
Jangan menangis lagi, karena aku tau, kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu sekarang bisa melihat lagi, aku senang melihat kamu senang.
Pelangi. Terkadang hidup ini memang sangat kejam, tapi sadarilah! Butuh sebuah kesedihan dan secercah bumbu kebahagiaan untuk dapat melihat indahnya warna-warni kamu, Pelangi!!
Ku tulis ini disaat nafasku semakin berat. Kini aku telah bahagia melihatmu bisa melihat lagi. Terimakasih sudah memberi kan warna pelangi di hidupku!!..
Neysa Shalsabila
Hanya ucapan terimakasih dan butiran air mata yang menemani Pelangi di samping makam Neysa. Sahabat terbaik yang takkan pernah sirna dalam hidupnya.
“Terimakasih sahabat! Aku takkan lagi menyerah. Terimakasih kamu sudah memberi ku arti indah nya hidup. Betapa pentingnya bersyukur. Aku akan menjaga mata ini seperti kamu menjaga persahabatan kita!” ujar Pelangi dengan air mata sedih bercampur bahagia.


Berharap Hujan

Langit mendung enggan mengguyurkan hujan tuk membasahi bumi. Hanya sesekali terlihat kilat dan Guntur terdengar menggema menyelimuti hari. Hari bertambah larut namun hujan tak kunjung datang. Tanaman yang haus akan kesegaran kini kering kerontang tak ada siraman air hingga lelah menanti. Tak ada satu pun yang dapat memanggil hujan meski tanaman berteriak meminta kesegaran menghapus dahaganya, meski burung berkicau memanggilnya, meski bebatuan mengemis merindukannya tetap saja hujan tak hadir menyapa mereka.
Hatinya begitu gersang seperti tanaman yang tak tersiram air hujan bertahun-tahun lamanya. Telah diterima balasan untaian kata yang lembut namun bagai Guntur di siang bolong. Rendi, seorang pemuda yang amat disayanginya setelah empat hari menghilang setelah percekcokan panjang itu terjadi, kini bersuara dengan kata yang tersirat padat makna yang mengisyaratkan bahwa ia menginginkan sendiri dahulu.
Dalam hatinya terlintas banyak tanya yang muncul dengan spontan ada apakah dengan semua yang ia hadapi saat ini. Ia tak mengerti mengapa orang yang dicintainya setulus hati, tiba-tiba berubah hanya karena ucapan yang terlontar yang dimaksudkan untuk membangun sikap sang pujaan hati terhadap gadis ini empat hari yang lalu.
Sebut saja dengan nama Vivi, gadis berperawakan kecil dengan bentuk badan yang sedikit gemuk namun tidak termasuk golongan obesitas. Vivi terlihat murung dan selalu melamun sejak ungkapan Rendi sang pacar memutuskan untuk lebih memilih sendiri dahulu dalam beberapa hari ini. Vivi selalu terlihat kusut saat ia berjumpa dengan orang yang berpasangan, terlebih jika ia melihat teman-temannya sedang asyik bercengkrama dengan kekasih mereka.
Waktu yang berharga terbuang dengan percuma, dihabiskan dengan hanya melamun sambil melihat langit yang berbintang saat malam tiba. Selama empat hari itu pula ia menghabiskan waktunya dengan posisi badan rebahan di atas kasur empuk sambil melihat di balik jendela, pemandangan malam yang sunyi, dengan langit yang dipenuhi bintang dan bulan. Itulah hal yang ia lakukan, merasa sepi, sunyi. Namun kesunyian malam tak dapat mengalahkan kesunyian yang ia rasakan saat ini. Tanpa sms, tanpa balasan, tanpa sapaan lembut dan perhatiaan yang sering ia rasakan selama setahun ini. Begitu hampa, hambar dan menjemukan.
Jika waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya Vivi memutar kembali semuanya menjadikan rangkaian sebuah cerita yang utuh syarat dengan estetika yang penuh makna dan berharga. Namun semua terlambat. Ungkapan maaf saja tak dapat mengembalikan semua kelukaan yang kini dirasakan Rendi.
Vivi hanya dapat terdiam membeku dan tak dapat berbuat apa-apa selain kata maaf yang terucap dari bibir yang sering menyakiti hati Rendi. Jika saja Rendi mau mendengar, Vivi hanya ingin mengucapkan terimakasih atas semua kesempatan untuknya. Kesempatan untuk hadir bersama perasaan cinta dan sayang seorang Vivi yang bukan apa-apa terhadap Rendi yang dengan tulus mencintainya sepenuh hati.
Jika memang tak ada pintu bagi Vivi maka semuanya telah sirna dan kandas bersama harapan yang terhempas begitu saja. Hanya sesal yang terus berpatri dalam sanubari yang telah menyakiti perasaan yang adiratna terhadapnya selama ini. Juga terimakasih atas kesempatan yang Rendi berikan selama ini namun sayang tak pernah Vivi gunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya, dengan membuat senyum jua kebahagiaan untuk Rendi tersayang malah sebaliknya.
“Untuk Rendi yang kusayang”
“Maafkan selama ini telah banyak menyakitimu, telah merobohkan asa yang hinggap
“di hatimu, maafkan tutur kataku yang sangat tajam seperti perisau yang merobek batinmu saat kau mendengarnya”.
“Terimakasih atas semuanya yang telah kau berikan kepadaku yang hina ini.”
“Terimakasih atas semua kesempatan yang kau berikan selama ini namun tak dapat kugunakannya dengan baik.”
“Aku menyayangimu dan akan selalu menyimpan perasaan ini sampai kapanpun.”
“Aku akan selalu mengenangmu dalam hidupku”.
Sebuah surat kuberikan padanya lewat mang ujang, tukang kebun keluarga Rendi.
Seminggu telah berlalu teramat lama. Kiriman email, sms, pesan fb hingga surat yang baru pertama kulayangkan padanya tak juga mendapatkan respon. Hatiku begitu cemas memikirkannya. Namun semua itu tak memberi jawaban pun juga kabar tentangnya.
Dua minggu setelah percekcokan itu, aku datang ke rumahnya dan apa yang aku dapatkan?. Dia tak ada di rumahnya hingga aku meendapatkan kabar dari mbok yem, pembantunya bahwa Rendi beserta keluarganya pergi ke Bandung dan tak akan kembali karena keluarganya akan menetap disana, di rumah baru mereka. Betapa miris hatiku, sebuah pertengkaran kecil berbuah pahit, akibat fatal yang tak pernah kubayangkan juga tak pernah kufikirkan dampaknya. Aku sangat menyesal namun apalah daya nasi telah menjadi bubur. Aku hanya berharap dia akan kembali padaku dan memaafkan semua kesalahanku.
Hanya karena aku merasa Rendi tak dapat mengerti diriku selama ini, akhirnya Rendi pun pergi tak tahu apakah kembali ataukah enggan merajut kembali cinta yang telah dibina selama tiga tahun ini. Aku sangat menyesal…


Cinta Untuk Sahabat

Namaku Firga Jeslyn, sering di panggil Firga. Aku siswa di SMU Melati Jaya. Aku siswa kelas X IPA 1. Aku tinggal di Jakarta. Aku anak kedua yang dilahirkan oleh mama dan papa. Kakaku sekarang sudah kuliah di Universitas Indonesia. Dia bernama Figo Mahendra
On a sunny morning.
Tring.. tring.. tring. Terdengar alarm berbunyi. Si cewek feminim ini terburu-buru pergi ke kamar mandi. Tepat pukul 06.45 Firga pun segera bersarapan lalu terburu buru berpamitan pergi ke sekolah. “mama, firga pergi ke sekolah dulu ya. Asalamualaikum ma” kata Firga sambil terburu buru”. “iya sayang hati hati ya, waalaikumsalam” kata mama sambil mencium pipi Firga
Di sekolah
Aku sudah di tunggu dengan temanku yang bernama Syasya. Aku dan Syasya menuju ke kelas. Tanpa dengan sengaja aku melihat sekumpulan mading. Di sela sela mading itu ada cerpen yang tanpa sengaja aku baca. Kenapa tiba tiba aku terkagum kagum membaca cerita itu. Sungguh hebat orang yang menulis dan menciptakan cerpen di mading itu. Lalu aku menuju kelas, dan aku mengikuti pelajaran fisika. Sungguh sulit mempelajari pelajaran fisika, apalagi gurunya galak, bikin aku bad mood aja. 15 menit kemudian guru fisika datang ke kelas. “selamat pagi murid murid” kata ibu guru. “salamat pagi bu” kata anak anak dengan kompak. “sya, aku ingin berkenalan sama penulis cerpen di mading itu. Bantu aku dong sya. Plis yah” kataku dengan memohon kepada Syasya. “oke ga, santai aja” kata Syasya dengan berbisik bisik”.
“firga jesyln, kerjakan soal di papan tulis” kata ibu guru sambil memasang muka marah. Hatiku berdegup kencang ketika di suruh mengerjakan soal di di papan tulis itu. “iya bu” kataku. Aku mengerjakan soal di papan tulis itu. 5 menit aku mengerjakan soal itu, entah benar atau tidak jawabanya aku pasrah kepada Tuhan. “firga, kamu boleh kembali ke tempat duduk kamu, jawaban kamu benar” kata ibu guru sambil tersenyum senyum. Hatiku senang sekali. “prok.. prok.. prok” suara tepuk tangan meriah teman teman.
Teng.. tengg. tengg tanda jam pulang
“kak fauzan.. kakak yang sering bikin cerpen di mading itu kan?” kata syasya. “iya” kata fauzan. “aku punya temen kak, dia pengen kenalan sama kakak. Sebentar ya kak” kata syasya. “iya” kata fauzan. “Kak permisi ya aku mau pulang duluan” kata syasya. Aku gemeteran ketika akan berkenalan dengan kak Fauzan. “firga” kataku sambil menjulurkan tangan. “fauzan. Kelas sepuluh apa firga? kata kak Fauzan. “sepuluh ipa 1, ya udah aku pulang duluan ya kak” kataku. Tidak lama kemudian aku dijemput papaku.
“pagi, siang, malam selalu memainkan handphone dan selalu handphone bunyi melulu, ada apa sih? kata papa. “biasa pa, lagi jatuh hati mungkin” kata mama. Mama orangnya usil memang tapi menyenangkan. “ih mama apaan sih enggak kok, mau jatuh cinta sama siapa coba?” kataku sambil ngotot. “ya sesama jenis lah masa sama kucing” kata mama. “sudahlah mending kita tidur aja hari udah malam besok kan firga masuk lebih pagi” kata papa. Benar juga sih kata papa, aku tak henti hentinnya memegang handphone, sampai sampai handphone ku lemot gara gara bbm’an terus terusan sama kak Fauzan. Ya udah deh mending aku tidur aja. Good night world
“pagi pagi yang biasanya nggak bersemangat ke sekolah sekarang lebih giat dan bersemangat pergi ke sekolah, tumben bener kamu ga” kata kakakku. Aku tidak merespon perkataan kakakku yang super duper nyebelin itu karena aku terburu buru sarapan. Emang sih aku bersemangat ke sekolah, karena hari ini jam pelajaran kosong (jamkos). Tepat pukul 06.00 kak Fauzan sudah menungguku di depan pintu gerbang rumahku. Sekarang aku berangkat ke sekolah bareng kak Fauzan. Oh senangnya hatiku.
Pukul 06.10 aku dan kak Fauzan telah tiba di sekolah. Handphone ku berbunyi, ternyata ada sms dari sahabat lamaku. Kukira sms nya penting ternyata tidak. “sahabat sih sahabat tapi nggak usah njailin orang gitu deh” kataku pelan pelan sambil menendang batu yang ada di depanku. “kenapa ga?” Tanya kak Fauzan. “ada sms dari sahabat kak, aku kira sms nya apaan eh ternyata hanya kata kata doang” kataku. “ya udah abaikan aja kan masih ada aku, kakak mau kok jadi sahabat kamu” kata kak Fauzan. “beneran kak? Terimakasih ya kak” kataku. Hatiku berbunga bunga sekali ketika menjadi sahabat kak Fauzan.
Di mall
“kak aku mau dong boneka yang itu” kataku. Kak Fauzan berusaha mengambil boneka itu dari pancingan permainanya. “hore dapat bonekanya” kataku sambil bergembira. “ini bonekanya buat kamu ga” kata kak fauzan. “beneran kak? Terimakasih ya kak” kataku sambil bergembira. Setelah bermain main di zona permainan, aku dan kak Fauzan pergi ke warung bakso. Aku di traktir makan bakso di sana. Sungguh bagai permata hati kak Fauzan. Aku bercanda dan tertawa ketika akan menyantap sebuah bakso. Senangnya bisa punya sahabat seperti kak Fauzan. Awalnya sih aku tidak menyangka bisa seperti ini. Tepat pkul 07.30 malam, aku pulang ke rumah. Seperti biasa, aku di antar pulang oleh kak Fauzan. Fauzan itu kalau kataku seperti angin, ia selalu datang tiba tiba tanpa sepengetahuanku.
Sesampainya di rumah aku telah disambut oleh kakakku dan pacar kakakku di depan teras rumah. Aku berbincang bincang tentang cowok dengan pacarnya kakakku. “kenapa sih kok yang mulai duluan yang cowok? Kenapa sih kok nggak yang cewek aja? Kenapa sih kak?” tanyaku kepada kak Gracia, yaitu pacar kakakku kak Figo. “pertanyaan nya banyak banget dik. Kalau yang mulai cewek dulu pasti nggak bisa lah dik, pasti ceweknya gengsi. Hehe” jawab kak Gracia. “oh gitu” aku menjawab dengan singkat. Malam itu aku tidak sempat tidur karena aku sedang asyik bbm’an dengan kak Fauzan. Namanya juga orang jatuh cinta, pasti memegang handphone terus.
Di sekolah
Aku berbincang bincang dengan kak Fauzan di depan kelas X IPA 5. “kenapa sih kak kok selalu buat cerita galau?” tanyaku kepada kak Fauzan. “ya nggak apa apa sih ga” jawab kak Fauzan. “kalau cerita tentang pasangan?” tanyaku. Kak Fauzan malah tersenyum senyum kepadaku ketika aku menanyakan sebuah pertanyaan itu. Jarum jam menunjukan pukul 11.00. Semua murid berhamburan untuk meninggalkan kelas. Di tempat parkir aku bertemu dengan kak Fauzan. “kak Fauzan” kataku. “eh iya ga” jawab kak Fauzan. “maaf ya kak aku nggak bisa pulang bareng sama kakak, soalnya aku mau pergi ke rumah neneku” kataku. “iya ga, gak apa apa kok. Aku boleh ngomong sesuatu gak sama kamu?” kata kak Fauzan. “iya boleh dong kak, emang mau ngomong apaan sih?” kataku. “ga, aku suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku? kata kak Fauzan. Oh Tuhan jantungku berdegup kencang, aku senang banget ketika kak Fauzan mengucapkan isi hatinya padaku. “aku nggak mau” kataku. Setelah aku mengucapkan kata kata itu kak Fauzan terihat melamun dan termenung. “nggak mau nolak” kataku sambil tersenyum. “ya udah kak, eh fa. Aku pulang dulu ya, aku udah di jemput sama papa aku” kataku.
Aku membuka jejaring sosial yang aku sukai, yaitu Facebook. Ketika membuka facebook aku melihat kak Fauzan di permintaan pertemanan. Kukira apa ternyata di meminta permintaan berpacaran. “oh ada yang jadian, pajak jadianya ya jangan lupa. Kok gak bilang bilang sih sama aku?” kata kak Figo. “apaan sih kak, iya nanti aku kasih seratus perak” kataku.
Setelah lama menjadi sahabat kak Fauzan, sekarang aku menjadi kekasih sahabat kak Fauzan. Emang bener ya kata pepatah “sahabat bisa menjadi cinta”. Aku merasa nyaman dan senang dengan kak Fauzan. Hari hariku terasa lebih indah dengan kak Fauzan.


Selasa, 18 November 2014

Gadis Itu

Akulah wanita penjelajah waktu, wanita yang melihat kejadian-kejadian dari masa lalu hingga masa depan. Akulah pengawas kejadian dari masa lalu hingga masa depan, aku berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi yang akan terjadi, aku bercita-cita untuk mengetahui segala hal. Tapi sayangnya bukanlah Tuhan, jadi masih banyak yang tidak ku ketahui, untuk itu, aku akan terus mencari waktu, dan mencari sesauatu yang baru.
Petualanganku dimulai, wajahku sudah tidak bisa menahan untuk mengeluarkan senyuman karena tidak sabar yang untuk mengetahui hal yang baru, aku melompati waktu, banyak sekali pilihan yang bisa aku tuju, tapi diriku jatuh hati kepada tempat yang gelap, sunyi, dingin, dan ditinggali oleh seorang gadis yang sedang menunggu.
Gadis itu sedang kuamati, gadis itu sedang menunggu suatu yang tak pasti.
Gadis itu sedang kuamati, gadis itu sedang dipeluk kegelapan menyesakkan.
Gadis itu sedang kuamati, gadis itu sedang ditemani satu batang lilin yang sumbunya dibakar oleh api kecil, api yang menemani mata gadis itu. Gadis itu sedang kuamati, gadis itu sedang menggenggam sesuatu yang berharga bagi dirinya. Aku sudah mulai bosan, aku mulai mendekatinya, oh… Sebuah liontin kecil yang berisi foto suatu keluarga bahagia, yang isinya berupa senyuman-senyuman indah. Aku mulai mengamati wajahnya yang sedang memelas, diriku tak pernah merasa sesedih ini, wajahnya begitu sedih, dampaknya aku terkena sedihnya jua. Bahkan sang penjelajah waktu pun tidak pernah tahu rasa sedih sedalam ini.
Aku tidak mau menangis, lalu aku keluar dari tempat itu. Mataku terpaku pada suatu nisan yang bertuliskan nama. Mata ini mengeluarkan air mata dengan deras… Dada ini sesak, sesak luar biasa. Aku segera kembali kepada gadis itu. Berlari sekuat tenaga. Namun aku terlambat, terlihat sebuah tubuh tak bernyawa sedang terkulai lemas, tubuhnya sudah tidak bisa menahan dinginnya sepi.
Gadis itu sedang kuamati, gadis itu sedang menyusul kedua orangtuanya dengan senyuman terindah yang pernah kulihat. Sang gadis penjelajah waktu sepertiku pun baru mengetahui bahwa ada senyuman seindah itu di tempat yang sangat sunyi ini.


Hantu Bawah Tangga

Waktu itu saya masih berumur 9 tahun, waktu itu ada sebuah tulisan di mading sekolah SD saya yang mengatakan bahwa dulu ada alumni sekolah saya ini, mempunyai dendam kepada semua orang yang telah mengolok ngoloknya karena penyebabnya dia sangat culun dan hitam, dia gantung diri di tangga sekolah yang paling atas, dia berjanji akan menghantui semua orang yang kelas 3, serentak aku dan teman teman ku kaget, mengapa? karena waktu itu saya masih kelas 3 dan dia bunuh diri saat kelas 3 waduuuuh capek deh.
Keesokan harinya…
“Yul, yulia aku barusan mimpi buruk banget” kata temanku yasmin
“Apa min? aku penasaran?” kata aku kepada yasmin
“aku mimpi buruk bahwa yang bunuh diri itu sepupuku fitri di mimpi dia bilang “temukan mayatku di bawah tangga sekolah” itu kata sepupuku” kata yasmin
“min ayo panggil teman teman menyelidiki bareng bareng” kata aku
“ya, yul ayo” kata yasmin
Sesampainya di bawah tangga
“AAAAA” jerit temanku, Varini
“Apa kamu ngeliat apa Rin?” tanyaku
“AAAAA” Jerit temanku, alya dan Luna
“apa sih apa?” kata yasmin juga bingung
“itu kan mayat sodaramu” kata Varini
“AAAAA” jerit aku dan yasmin
“i…iya.. m..min cepat panggil bu kepala sekolah” kataku
“II..IYA… yul” kata yasmin sambil gugup
Setelah bu kepala sekolah datang, semua menggotong Alumni murid itu dan dibawake UKS
Tiba tiba malamnya aku bermimpi bahwa Fitri ingin cepat dikubur jika tidak fitri akan bergentayangan terus menerus,
setelah aku cerita langsung saja dikuburin.


Rahasia Cinta

Paskibra merupakan ekstra yang telah Icha pilih semenjak ia duduk di bangku SMK. Semenjak SMP Icha memang suka dengan ekstra ini. Dimanapun ada perlombaan paskibra Icha pasti datang untuk melihat. Tanggal 24 Desember 2011, sekolah Icha mengadakan gastra untuk semua ekstra lapangan. Pada hari itu para alumni paskibra tempat sekolah Icha datang untuk melihat. Karena saat itu Icha masih junior, jadi dia belum begitu kenal dengan para alumninya. Setelah 4 hari gastra, akhirnya semuanya kembali ke rumah masing-masing.
Saat sudah tiba di rumah Icha langsung mandi, setelah itu Icha membuka HP lalu online facebook. Di facebook, Icha mendapat pesan dari seorang yang mungkin tidak asing bagi dia. Karena orang tersebut merupakan kakak alumni di paskibra, namanya kak Tama. Satu minggu setelah itu kak Tama bilang ke Icha kalau dia suka sama Icha, dan tanpa pikir panjang Icha pun menerima ajakan kak Tama untuk pacaran. Padahal Icha tau kalau kak Tama sedang kuliah di salah satu Universitas ternama di negeri ini yaitu Universitas Indonesia.
Bulan Februari 2012 Icha dan teman-teman paskibra mengikuti sebuah perlombaan se Jawa-Bali. Saat perlombaan, banyak kakak-kakak alumni yang datang melihat, tapi kak tama tidak bisa hadir karena jadwal kuliah yang begitu padat.
Setelah selesai tampil, Icha berdiri di sebuah tangga dan ada seorang kakak yang meemani dia berdiri yaitu kak Dimas. Kak Dimas adalah teman seangkatan kak Tama saat ekstra dulu. Dari sini Icha mulai dekat dengan kak Dimas, apalagi semenjak kak Dimas minta no HP Icha. Mereka hampir setiap hari smsan.
Menginjak usia pacaran yang ke 6 bulan hubungan Icha dan kak Tama mulai renggang. Entah karena apa mereka akhirnya memutuskan untuk berpisah. Setelah berpisah dari kak Tama Icha lebih sering murung dan tak peduli dengan dunia sekitar lagi. Semenjak itu hanya kak Dimas yang membuat Icha tersenyum dan ceria kembali. Tanpa sadar ternyata Icha menyimpan rasa suka pada kak Dimas, tetapi dia tidak pernah menyadari itu. Sampai pada bulan Oktober Icha mulai berpacaran lagi dengan temannya dari sekolah lain selama 2 bulan.
Semenjak putus dengan temannya itu, Icha semakin menyadari kalau orang yang dicintainya itu adalah kak Dimas, bukan orang lain. Kakak yang telah lama memberi perhatian lebih pada dirinya. Icha ingin sekali mengatakan semua perasaannya kepada kak Dimas, tetapi Icha tak mempunyai keberanian untuk melakukan itu semua. Minggu, 13 Januari 2013, Icha minta tolong kak Dimas untuk mengantarnya ketemu teman prakerinnya. Selain bertemu teman prakerin, Icha dan kak Dimas menikmati momen-momen berharga itu dengan mengelilingi kota Kediri. Waktu itu sangat berarti sekali bagi Icha, karena itu pertama kalinya dia bisa jalan-jalan bareng sama kak Dimas, orang yang sangat ia cintai. Sebenarnya saat itu Icha ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi dia tidak mampu. Icha benar-benar tersiksa dengan semua itu. Setiap hari hanya kak Dimas yang ada dalam pikirannya. Sampai-sampai untuk makan pun dia tak nafsu.
Beberapa bulan kemudian, kak Dimas mengajak Icha utuk jalan-jalan. Dan saat itu kak Dimas mengatakan kalau dia suka sama Icha. Dengan wajah yang berseri-seri Icha melonjak kegirangan, karena pertanyaannya selama ini telah terjawab. Betapa bahagia diri Icha karena cintanya selama ini tidak hanya bertepuk sebelah tangan. Penantiannya telah berakhir dengan bahagia. Akhirnya Icha dan kak Dimas telah resmi menjadi sebuah pasangan kekasih yang bahagia.


Terpisahkan

Namaku Keyla. Duduk di bangku SMP kelas 3. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Meyla. Dia adalah kembaranku. Dari di perut ibuku aku sudah berteman dengannya. Dialah satu-satunya sahabatku di kelas. Di sekolah, kami dijauhi oleh teman-teman karena kami miskin. Maklumlah kami bisa sekolah disini itu semua karena beasiswa dari sekolah kami di SD. Setiap ada kerja kelompok, kami berdua dijauhi dan tidak ada yang memilih kami. Aku sayang Meyla. Hanya Meyla lah yang selalu ada disaat aku membutuhkannya. Kami sangatlah dekat. Setiap hari kami selalu bersama. Dari masih bayi, TK, SD, sampai sekarang. Meyla adalah orang yang sangat baik. Dia perhatian, suka mengalah, rajin, berbeda dengan aku yang kadang kadang suka egois.
Hari ini kami akan pergi menginap di rumah nenek. Kami sudah menyiapkan barang barang kami semua kemarin.
Pukul 07.00 kami sudah siap dan akan berangkat dengan angkutan umum. Kami berangkat bersama ayah dan ibu. Dalam perjalanan kami berdua bercanda, mengobrol, dan bermain.
Pukul 09.00 kami sampai di rumah nenek. Saat itu hujan deras sekali, kami segera berlari ke rumah nenek.
Kami makan masakan nenek yang enak sekali. Nenek sangatlah pandai memasak. Masakannya sangat enak, siapapun suka. Nenek membuka sebuah restoran dan ia bekerja sebagai juru masak di restoran itu. Meyla juga jago memasak. Tidak seperti aku. Aku tidak bisa masak. Nenek bilang kalau Meyla sudah besar, Meyla akan meneruskan pekerjaan Nenek. Cita-cita Meyla memang menjadi seorang juru masak. Sesudah makan kami pergi ke kamar tamu yang telah disediakan nenek untuk kami. Kami beristirahat di situ.
“Meyla, aku pengen banget pergi ke luar negeri. Tapi aku yakin itu mustahil. Aku iri, Semua teman teman kita di sekolah sudah pernah keluar negeri.” kataku.
“Kita hanya perlu bersabar Key. Aku juga ingin pergi kesana. Tapi orangtua kita hanya berpenghasilan sebagai pedagang. Mungkin nanti 10 tahun yang akan datang kita bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan mungkin 10 tahun ke depan kita bisa mewujudkan keinginan kita’ balasnya.
“Ya! Kamu benar sekali Meyla. Oh iyaa kita lusa ulangtahun yang ke 15. Apa yang kamu inginkan?” tanyaku.
“Aku hanya ingin kita sekeluarga selalu sehat sejahtera dan merasa bahagia. Sampai kapanpun. Aku ingin kita terus bersama dan bersahabat seperti ini Key. Kamu adalah anugerah terbaik yang Tuhan berikan untukku. Aku tidak tahu apa aku bisa seperti saat ini kalau tidak ada kamu” jawab Meyla.
Aku tertegun. Meyla sangat baik. Kalau aku, aku akan minta barang-barang yang bagus, bukan minta kesehatan untuk semua keluargaku. Aku tersenyum kepadanya.
Pukul 15.00 Hujan tinggal gerimis.
Aku dan Meyla diajak Paman Budi, pamanku untuk pergi membeli barang untuk besok di supermarket. Besok kami akan merayakan ulangtahun nenek, kami akan membeli makanan, kado ulang tahun dan kue untuk nenek. Ulangtahun nenek sehari sebelum ulangtahun aku dan Meyla. Kami naik motor pergi ke Supermarket.
Jalanan sangat becek karena dari pagi hujan. Paman Budi sangat berhati hati.
Aku duduk di tengah, berpegangan pada pundak Paman. Aku memakai helm. Helm milik paman hanya 2. Meyla mengalah sehingga aku yang memakainya. Meyla duduk di belakang, ia memegang pundakku. Aku berbalik badan dan melihat Meyla tersenyum kepadaku. Senyumnya, sangat berbeda dari biasanya. Wajahnya pun sangat pucat.
“Terima Kasih ya Key.” tanya Meyla tiba tiba.
“Untuk apa?” balasku
“Untuk semuanya. aku beruntung punya sahabat sepertimu.”
Supermarket berada 10 km dari rumah nenek. Memang cukup jauh. Tapi ya begitulah.
Saat aku sedang berpikir,
tiba-tiba sebuah bus metromini menyerempet motor Paman, aku melihat pemandangan yang menyeramkan ini sekilas. Sedetik kemudian aku terlempar ke aspal. Kakiku sakit sekali. Untung aku memakai helm. Tapi… Aku segera melihat ke arah Meyla. YA TUHAN!. Dia pingsan, kepalanya berdarah sangat banyak karena membentur batu bata di trotoar dengan sangat keras, dan dia tidak memakai helm. Keadaannya saat itu sangat kacau. Kulihat samar-samar Paman Budi berteriak minta tolong. Kepalaku pusing. Beberapa detik kemudian aku merasa semuanya hitam.
Aku membuka mata. Dimana aku sekarang? Semua barang-barangnya berwarna putih.
Di depanku ada Ayah, dan nenek. Beberapa saat kemudian aku segera tahu kalau aku ada di rumah sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Nek, Yah apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dengan suara yang lesu.
“Kau mengalami kecelakaan nak. Bus dengan tak sengaja menyerempet motor Paman. Untung kamu dan Paman tidak kenapa kenapa. Hanya keseleo di bagian kaki. Sekarang supir bus nya sudah meminta maaf dan membayar semua biaya rumah sakit” jelas Ayah.
“Bagaimana keadaan Meyla??” tanyaku.
Ayah dan Nenek hanya terdiam… ada apa ini? Air muka mereka menandakan sesuatu yang tidak baik terjadi. firasatku tidak enak.
“Bagaimana keadaaan Meyla? Jawab aku nek, jawab aku yah..” teriakku.
Air mataku turun. aku segera membuka infus ku lalu berlari ke kamar sebelah. Nenek dan Ayah mengejarku. Aku tidak peduli aku khawatir dengan keadaan Meyla. Di dalam ruangan sebelah aku melihat pemandangan yang sangat menyayat hatiku.
Ibu, bibi, kakek, paman berdiri mengelilingi ranjang Meyla sambil menangis sesegukan. Kulihat Meyla di ranjang rumah sakit. Wajahnya sangat pucat, seperti orang yang sudah… tidak, tidak boleh ini terjadi.
“ibuuu, bibi, kakek, paman, Meyla kenapa?” Tanyaku sambil menangis. Aku tidak peduli betapa sakit kakiku. Aku hanya memikirkan Meyla.
“kembaranmu sudah tidak bisa ditolong nak. Dia mengeluarkan darah yang sangat banyak sehingga kehabisan darah.” jelas ibu.
“jadi, Meyla meninggal???” tanyaku. Aku berharap ini hanya mimpi.
Beberapa saat semuanya terdiam. Tetapi lalu kakek,paman, ibu dan bibiku menggangguk.
Aku jatuh ke lantai. Lalu aku menangis sejadi-jadinya. Ini hanya mimpii. Aku tidak percaya orang yang paling berarti dan aku sayang di dunia ini telah pergi meninggalkan aku. Meyla, kembaranku. Satu satunya orang yang mau bersahabat baik denganku. Meyla, kembaranku. Aku bukanlah diriku jika tidak ada dia. Aku tidak siap menerima ini. Baru tadi siang dia bilang padaku, 10 tahun lagi kami pasti akan mewujudkan cita-cita dan keinginan kami.. Tapi sekarang, hiks. Meyla kenapa kamu meninggalkanku? aku tidak tahu lagi harus berteman dengan siapa di sekolah. Kamulah teman terbaikku, sahabat sejatiku, setiap saat. Bahkan sampai kamu mati pun, kamu tetap akan menjadi sahabat terbaikku. Aku berteriak dalam hati mengapa ini terjadi. Aku hanya bisa menangis.
“Kau harus merelakannya nak. Mungkin kamu menyayangi Meyla. Tapi Tuhan juga menyayangi dia nak. Ini semua rencana Tuhan. Rancangan Tuhan adalah yang terbaik untuk kita semua. Percayalah nak.” kata Kakek.
Aku berusaha berhenti menangis, tetapi tidak bisa. Aku mengulang kembali setiap kenanganku bersamanya. Saat bayi, yang pertama kali kukenal adalah dirinya. Kami selalu melakukan aktivitas bersama-sama. Bermain bersama-sama, Belajar bersama-sama, tertawa, menangis, saling membantu, bercanda, kami lewati bersama. Dia selalu menolongku saat aku jatuh. Dia selalu membantuku saat aku tidak bisa mengerjakan PR. Naik, turun, jatuh, bangun, badai, hujan, semua telah kami lalui bersama. Mengapa harus dia? Mengapa??
Aku menangis semakin menjadi-jadi.