Aku masih saja duduk termangu disini, bersama deburan ombak, serta
langit dengan semburat warna oranyenya. Aku seperti merasakan anugerah
yang Maha Kuasa di tempat ini. Ditambah lagi aku baru saja dinyatakan
lulus dari SMA dengan nilai tertinggi seprovinsi Jawa Barat, benar-benar
hal yang sempurna. Ya, sempurna bagi orang yang melihatnya dari luar,
tapi tidak dari sudut pandangku. Mungkin aku berhasil di bidang
akademik, tapi tidak dengan urusan hati.
Kita bicara soal Rangga, anak teman dekat papa yang tinggal bersama
kami. Alasan papa mengajaknya tinggal bersama kami adalah karena kedua
orangtuanya sudah meninggal 3 tahun yang lalu akibat kecelakaan pada
malam tahun baru. Ia terbilang beruntung karena masih dapat selamat dari
kecelakaan maut yang sangat mengenaskan itu.
Kehadirannya di rumah ini menjadi teman bagi Kaspian, satu-satunya
kakak laki-laki yang aku punya, sekaligus jadi teman diskusi untuk tugas
sekolah kami. Kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama, dengan
tingkatan kelas yang sama, dan ruang kelas yang sama, tapi tidak untuk
tempat duduknya.
“Lipat kesini, terus yang ini, terus tarik. Selesai! Tinggal dilepas
ke pantai sebentar lagi,” aku bersorak karena baru saja menyelesaikan
perahu kertasku.
Aku memang membawa kertas dan sebuah pulpen saat hendak kesini. Dari
dulu aku selalu menuangkan semua keluh kesahku lewat tulisan, kemudian
menjadikan kertas yang aku tulis menjadi sebuah perahu kertas agar tidak
ketahuan, lalu melepasnya ke tepi pantai.
“Bianca,” sebuah suara mengejutkanku.
“Rangga, ngagetin aja. Aku kira tadi siapa, tiba-tiba manggil.”
“Maaf deh, Bi. Eh, itu apa?” tanya Rangga.
“Apa, Ga? Nggak ada apa-apa kok,” aku menyembunyikan perahu kertas yang kupegang. Aku yakin ia melihat ini tadi.
Rangga mencoba mencari tanganku, dan merebut perahunya. Dan ia mendapatkannya.
“Cuma perahu kertas, aku kira apaan. Kamu, yang beginian aja pake dirahasia’in,” celetuk Rangga. Kemudian ia mengembalikannya.
“Ini bukan perahu kertas biasa, Ga. Perahu kertas ini isinya semua keluh
kesah aku,” timpalku sambil menggenggam perahu kertas dengan erat.
“Jadi kamu curhat di kertas itu? Setiap hari?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Pantes aja kamu sering duduk disini, sambil bawa kertas sama pulpen.
Aku kira kamu mau nulis cerpen, kamu kan hobi nulis begituan,” ujar
Rangga.
“Dan melepasnya ke pantai. Mau coba?” aku menyodorkan sehelai kertas dan pulpen.
Dengan cepat Rangga mengambilnya. Ia menuliskan sesuatu dan melipat
benda tipis itu dengan cepat. “Oh Tuhan, apa yang ia tulis disana?”
gumamku dalam hati.
Kami berdua berjalan menuju pantai. Kami melepas perahu-perahu kertas
kami disana. Aku harap perahu kertas ini tidak hanya melegakan perasaan
kami, tapi juga mengabulkan harapan kami.
“Bianca, masuk dulu yuk, kita nonton. Acaranya kan mulai sekitar tiga jam lagi,” kata Rangga.
“Nyusul deh,” jawabku.
Rangga berjalan ke arah rumah.
Jam tanganku menunjukkan pukul sembilan. Tiga jam menjelang tahun
baru 2014. Aku memilih untuk masuk ke kamarku, meskipun saat itu Rangga
mengajakku menonton film horor. Sebenarnya aku berniat ingin melanjutkan
cerita pendek karanganku yang belum selesai, namun sayang aku tertidur
saat itu.
Aku terbangun, tapi mata ini terasa belum akan terbuka. Ada tangan
yang dengan hangat mengelus kepalaku. Kudengar suara sayup rangga.
Kubiarkan tangan itu di kepalaku, sambil mendengar suaranya. Tiba-tiba
Rangga mengucapkan sesuatu yang rasanya seperti akan membuatku tersedak.
“Aku sayang kamu sejak lama, Bianca,” ucapnya seraya membelai pipiku.
Kemudian ia membangunkanku dari tidur yang rasanya nyenyak tapi
mengejutkan di akhir ini. Aku berpura-pura baru terjaga dari tidur.
Seulas senyum manis di bibir tipis Rangga menyambutku. Aku langsung
melesat dari tempat tidur dan merapikan penampilanku yang sedikit
berantakan.
“Ayo keluar, udah mulai rame tuh,” Rangga berucap. Ia mengulurkan tangannya.
”Oh tidak, genggaman ini membuatku seperti akan meleleh, bagai es batu
di atas bara api,” gumamku begitu menyambut uluran tangannya.
Begitu sampai di luar, kami bergabung dengan yang lainnya. Kami duduk
di dekat Kaspian, tapi Rangga memintaku duduk di sebelahnya, bahkan ia
belum melepas genggaman ini. Begitu hampir tengah malam, Rangga
menarikku ke tempat yang agak sepi.
“Bi, ini buat kamu,” ujarnya setengah berdiri sambil megulurkan sebuah cincin.
“Cincinnya cantik, tapi ini buat apa?” tanyaku setelah cukup lama menganga karena tertegun.
“Iya, cincin ini cantik, secantik kamu. Ini buat nyatain cinta aku ke
kamu, Bianca,” ucap Rangga lancar. Ia memasangkan cincin tadi ke jari
manisku.
“Aku sayang sama kamu, Bianca. Aku mau kamu ada sama aku selamanya,”
Tanpa mengucap sepatah kata, aku langsung memeluk tubuh Rangga. Apa yang
aku tulis di perahu kertas tadi ternyata langsung dijawab oleh Tuhan.
Aku benar-benar merasa beruntung dan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar