Jumat, 21 November 2014

Berharap Hujan

Langit mendung enggan mengguyurkan hujan tuk membasahi bumi. Hanya sesekali terlihat kilat dan Guntur terdengar menggema menyelimuti hari. Hari bertambah larut namun hujan tak kunjung datang. Tanaman yang haus akan kesegaran kini kering kerontang tak ada siraman air hingga lelah menanti. Tak ada satu pun yang dapat memanggil hujan meski tanaman berteriak meminta kesegaran menghapus dahaganya, meski burung berkicau memanggilnya, meski bebatuan mengemis merindukannya tetap saja hujan tak hadir menyapa mereka.
Hatinya begitu gersang seperti tanaman yang tak tersiram air hujan bertahun-tahun lamanya. Telah diterima balasan untaian kata yang lembut namun bagai Guntur di siang bolong. Rendi, seorang pemuda yang amat disayanginya setelah empat hari menghilang setelah percekcokan panjang itu terjadi, kini bersuara dengan kata yang tersirat padat makna yang mengisyaratkan bahwa ia menginginkan sendiri dahulu.
Dalam hatinya terlintas banyak tanya yang muncul dengan spontan ada apakah dengan semua yang ia hadapi saat ini. Ia tak mengerti mengapa orang yang dicintainya setulus hati, tiba-tiba berubah hanya karena ucapan yang terlontar yang dimaksudkan untuk membangun sikap sang pujaan hati terhadap gadis ini empat hari yang lalu.
Sebut saja dengan nama Vivi, gadis berperawakan kecil dengan bentuk badan yang sedikit gemuk namun tidak termasuk golongan obesitas. Vivi terlihat murung dan selalu melamun sejak ungkapan Rendi sang pacar memutuskan untuk lebih memilih sendiri dahulu dalam beberapa hari ini. Vivi selalu terlihat kusut saat ia berjumpa dengan orang yang berpasangan, terlebih jika ia melihat teman-temannya sedang asyik bercengkrama dengan kekasih mereka.
Waktu yang berharga terbuang dengan percuma, dihabiskan dengan hanya melamun sambil melihat langit yang berbintang saat malam tiba. Selama empat hari itu pula ia menghabiskan waktunya dengan posisi badan rebahan di atas kasur empuk sambil melihat di balik jendela, pemandangan malam yang sunyi, dengan langit yang dipenuhi bintang dan bulan. Itulah hal yang ia lakukan, merasa sepi, sunyi. Namun kesunyian malam tak dapat mengalahkan kesunyian yang ia rasakan saat ini. Tanpa sms, tanpa balasan, tanpa sapaan lembut dan perhatiaan yang sering ia rasakan selama setahun ini. Begitu hampa, hambar dan menjemukan.
Jika waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya Vivi memutar kembali semuanya menjadikan rangkaian sebuah cerita yang utuh syarat dengan estetika yang penuh makna dan berharga. Namun semua terlambat. Ungkapan maaf saja tak dapat mengembalikan semua kelukaan yang kini dirasakan Rendi.
Vivi hanya dapat terdiam membeku dan tak dapat berbuat apa-apa selain kata maaf yang terucap dari bibir yang sering menyakiti hati Rendi. Jika saja Rendi mau mendengar, Vivi hanya ingin mengucapkan terimakasih atas semua kesempatan untuknya. Kesempatan untuk hadir bersama perasaan cinta dan sayang seorang Vivi yang bukan apa-apa terhadap Rendi yang dengan tulus mencintainya sepenuh hati.
Jika memang tak ada pintu bagi Vivi maka semuanya telah sirna dan kandas bersama harapan yang terhempas begitu saja. Hanya sesal yang terus berpatri dalam sanubari yang telah menyakiti perasaan yang adiratna terhadapnya selama ini. Juga terimakasih atas kesempatan yang Rendi berikan selama ini namun sayang tak pernah Vivi gunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya, dengan membuat senyum jua kebahagiaan untuk Rendi tersayang malah sebaliknya.
“Untuk Rendi yang kusayang”
“Maafkan selama ini telah banyak menyakitimu, telah merobohkan asa yang hinggap
“di hatimu, maafkan tutur kataku yang sangat tajam seperti perisau yang merobek batinmu saat kau mendengarnya”.
“Terimakasih atas semuanya yang telah kau berikan kepadaku yang hina ini.”
“Terimakasih atas semua kesempatan yang kau berikan selama ini namun tak dapat kugunakannya dengan baik.”
“Aku menyayangimu dan akan selalu menyimpan perasaan ini sampai kapanpun.”
“Aku akan selalu mengenangmu dalam hidupku”.
Sebuah surat kuberikan padanya lewat mang ujang, tukang kebun keluarga Rendi.
Seminggu telah berlalu teramat lama. Kiriman email, sms, pesan fb hingga surat yang baru pertama kulayangkan padanya tak juga mendapatkan respon. Hatiku begitu cemas memikirkannya. Namun semua itu tak memberi jawaban pun juga kabar tentangnya.
Dua minggu setelah percekcokan itu, aku datang ke rumahnya dan apa yang aku dapatkan?. Dia tak ada di rumahnya hingga aku meendapatkan kabar dari mbok yem, pembantunya bahwa Rendi beserta keluarganya pergi ke Bandung dan tak akan kembali karena keluarganya akan menetap disana, di rumah baru mereka. Betapa miris hatiku, sebuah pertengkaran kecil berbuah pahit, akibat fatal yang tak pernah kubayangkan juga tak pernah kufikirkan dampaknya. Aku sangat menyesal namun apalah daya nasi telah menjadi bubur. Aku hanya berharap dia akan kembali padaku dan memaafkan semua kesalahanku.
Hanya karena aku merasa Rendi tak dapat mengerti diriku selama ini, akhirnya Rendi pun pergi tak tahu apakah kembali ataukah enggan merajut kembali cinta yang telah dibina selama tiga tahun ini. Aku sangat menyesal…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar