Langit mendung enggan mengguyurkan hujan tuk membasahi bumi. Hanya
sesekali terlihat kilat dan Guntur terdengar menggema menyelimuti hari.
Hari bertambah larut namun hujan tak kunjung datang. Tanaman yang haus
akan kesegaran kini kering kerontang tak ada siraman air hingga lelah
menanti. Tak ada satu pun yang dapat memanggil hujan meski tanaman
berteriak meminta kesegaran menghapus dahaganya, meski burung berkicau
memanggilnya, meski bebatuan mengemis merindukannya tetap saja hujan tak
hadir menyapa mereka.
Hatinya begitu gersang seperti tanaman yang tak tersiram air hujan
bertahun-tahun lamanya. Telah diterima balasan untaian kata yang lembut
namun bagai Guntur di siang bolong. Rendi, seorang pemuda yang amat
disayanginya setelah empat hari menghilang setelah percekcokan panjang
itu terjadi, kini bersuara dengan kata yang tersirat padat makna yang
mengisyaratkan bahwa ia menginginkan sendiri dahulu.
Dalam hatinya terlintas banyak tanya yang muncul dengan spontan ada
apakah dengan semua yang ia hadapi saat ini. Ia tak mengerti mengapa
orang yang dicintainya setulus hati, tiba-tiba berubah hanya karena
ucapan yang terlontar yang dimaksudkan untuk membangun sikap sang pujaan
hati terhadap gadis ini empat hari yang lalu.
Sebut saja dengan nama Vivi, gadis berperawakan kecil dengan bentuk
badan yang sedikit gemuk namun tidak termasuk golongan obesitas. Vivi
terlihat murung dan selalu melamun sejak ungkapan Rendi sang pacar
memutuskan untuk lebih memilih sendiri dahulu dalam beberapa hari ini.
Vivi selalu terlihat kusut saat ia berjumpa dengan orang yang
berpasangan, terlebih jika ia melihat teman-temannya sedang asyik
bercengkrama dengan kekasih mereka.
Waktu yang berharga terbuang dengan percuma, dihabiskan dengan hanya
melamun sambil melihat langit yang berbintang saat malam tiba. Selama
empat hari itu pula ia menghabiskan waktunya dengan posisi badan rebahan
di atas kasur empuk sambil melihat di balik jendela, pemandangan malam
yang sunyi, dengan langit yang dipenuhi bintang dan bulan. Itulah hal
yang ia lakukan, merasa sepi, sunyi. Namun kesunyian malam tak dapat
mengalahkan kesunyian yang ia rasakan saat ini. Tanpa sms, tanpa
balasan, tanpa sapaan lembut dan perhatiaan yang sering ia rasakan
selama setahun ini. Begitu hampa, hambar dan menjemukan.
Jika waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya Vivi memutar kembali
semuanya menjadikan rangkaian sebuah cerita yang utuh syarat dengan
estetika yang penuh makna dan berharga. Namun semua terlambat. Ungkapan
maaf saja tak dapat mengembalikan semua kelukaan yang kini dirasakan
Rendi.
Vivi hanya dapat terdiam membeku dan tak dapat berbuat apa-apa selain
kata maaf yang terucap dari bibir yang sering menyakiti hati Rendi.
Jika saja Rendi mau mendengar, Vivi hanya ingin mengucapkan terimakasih
atas semua kesempatan untuknya. Kesempatan untuk hadir bersama perasaan
cinta dan sayang seorang Vivi yang bukan apa-apa terhadap Rendi yang
dengan tulus mencintainya sepenuh hati.
Jika memang tak ada pintu bagi Vivi maka semuanya telah sirna dan
kandas bersama harapan yang terhempas begitu saja. Hanya sesal yang
terus berpatri dalam sanubari yang telah menyakiti perasaan yang
adiratna terhadapnya selama ini. Juga terimakasih atas kesempatan yang
Rendi berikan selama ini namun sayang tak pernah Vivi gunakan kesempatan
itu dengan sebaik-baiknya, dengan membuat senyum jua kebahagiaan untuk
Rendi tersayang malah sebaliknya.
“Untuk Rendi yang kusayang”
“Maafkan selama ini telah banyak menyakitimu, telah merobohkan asa yang hinggap
“di hatimu, maafkan tutur kataku yang sangat tajam seperti perisau yang merobek batinmu saat kau mendengarnya”.
“Terimakasih atas semuanya yang telah kau berikan kepadaku yang hina ini.”
“Terimakasih atas semua kesempatan yang kau berikan selama ini namun tak dapat kugunakannya dengan baik.”
“Aku menyayangimu dan akan selalu menyimpan perasaan ini sampai kapanpun.”
“Aku akan selalu mengenangmu dalam hidupku”.
Sebuah surat kuberikan padanya lewat mang ujang, tukang kebun keluarga Rendi.
Seminggu telah berlalu teramat lama. Kiriman email, sms, pesan fb
hingga surat yang baru pertama kulayangkan padanya tak juga mendapatkan
respon. Hatiku begitu cemas memikirkannya. Namun semua itu tak memberi
jawaban pun juga kabar tentangnya.
Dua minggu setelah percekcokan itu, aku datang ke rumahnya dan apa
yang aku dapatkan?. Dia tak ada di rumahnya hingga aku meendapatkan
kabar dari mbok yem, pembantunya bahwa Rendi beserta keluarganya pergi
ke Bandung dan tak akan kembali karena keluarganya akan menetap disana,
di rumah baru mereka. Betapa miris hatiku, sebuah pertengkaran kecil
berbuah pahit, akibat fatal yang tak pernah kubayangkan juga tak pernah
kufikirkan dampaknya. Aku sangat menyesal namun apalah daya nasi telah
menjadi bubur. Aku hanya berharap dia akan kembali padaku dan memaafkan
semua kesalahanku.
Hanya karena aku merasa Rendi tak dapat mengerti diriku selama ini,
akhirnya Rendi pun pergi tak tahu apakah kembali ataukah enggan merajut
kembali cinta yang telah dibina selama tiga tahun ini. Aku sangat
menyesal…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar