Kamis, 26 Februari 2015

Dia Atau Dia?

Di puncak masa putih abu-abu, aku dihadapkan dengan berbagai pilihan. Banyak pilihan yang harus aku tentukan demi masa depanku, atau aku akan menyesal. Salah satunya adalah cinta. Seringkali aku bercerita, membaca dan mendengar sebuah istilah yang sakral bagi pujangganya itu sendiri. Teringat sewaktu keseharianku yang masih kental dengan agama. Kerudung panjang dan lebar menutup dada dan punggungku, buku adalah media hiburanku, yang kubahas tentang ilmu, tersenyum bebas tanpa beban, aku jauh dengan hal-hal percintaan di luar pernikahan yang sekarang diistilahkan dengan “pacaran”. Sekarang, semua berbanding terbalik. Tetapi kerudung masih tetap kukenakan. Jika aku mengalami kesukaran dalam menghadapi sekian banyak resiko, aku merindukan sosok diriku yang dahulu, aku yang tak begitu peduli dengan pacaran.
Aku mengalami perubahan pada diriku semenjak aku mengenal Firman, yang kini statusnya pacarku. Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku benar-benar mengalami sesuatu yang berbeda. Desakkan nafsu darah muda, aku tahu itu salah tapi aku memutuskan akhirnya berpacaran dengannya. Sebelum aku mengenalnya, aku terlebih dahulu mendambakan laki-laki yang usianya 10 tahun lebih tua dariku. Laki-laki itu adalah gambaran seorang ikhwan alim yang tindak-tanduknya persis dengan anak pesantren. Kulihat dari caranya beribadah, berbicara, dan berguraunya sangat santun. Berbeda dengan para laki-laki yang berlalu-lalang di hadapanku setiap harinya. Tetapi itu hanya bertahan sementara, sulit sekali mendapatkan laki-laki sepertinya sedangkan bila aku berkaca, aku hanya perempuan yang berusaha baik di akhir zaman. Teringat akan sebuah kalimat dalam al-quran, Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Sebaliknya, wanita yang hina untuk laki-laki yang hina pula.
Akhirnya, aku berpacaran dengan Firman hingga kini sudah berjalan 5 bulan. Kami menjalani hari-hari tanpa duduk berdua, berpegangan tangan, bertatapan mata, bahkan bertemu saja jarang. Hanya sebatas SMS dan chartting. Selama itu, kami banyak menemukan berbagai masalah. Awalnya, perasaanku tak setengah-setengah tapi kenyataannya dia mudah sekali tertarik dengan perempuan. Semenjak itu, kesalahan yang sama selalu diulang. Berjuta alasan diucapkan, tidak sedikit pun hati merasa tenang ketika dia mulai beralasan. Dalam pikiranku “Dia bohong!”.
Awal tahun 2014, dia tidak menghubungiku dengan alasan tak mampu membeli pulsa.
“Beli rok*k, tiket event metal, dan belum lagi kebutuhan kesenangan yang lain dia mampu, terus aku dianggap apa? Nggak penting?” gerutuku dalam hati. “Terus, kalimat yang katanya aku orang yang paling disayanginya, apa cuma ‘speak’ doang?!”
Big liar!
Sampai di puncak lelah, aku mulai sedikit merasa terbiasa dengan sikapnya seperti itu. Alhasil, aku diam dengan segala tingkah lakunya. Ketika aku mulai dianggurkan, ada seseorang yang kerap datang sekedar untuk menyapa.
Yogga…
Sudah hampir setahun aku mengenalnya. Lebih lama aku mengenalnya daripada Firman. Awal aku mengenal, banyak kesan buruk yang kulimpahkan pada Yogga dan pada akhirnya Allah mulai menurunkan wahyu berupa keadilan untuk dia. Aku mulai merasakan bahwa dia memang yang selalu ada walaupun dalam keadaan apapun. Perkataanku yang buruk saja saja dia ingat bagaimana konteks kalimatnya. Hal kecil yang berhubungan denganku dia tahu persis. Walaupun sempat dia merasa lelah dengan sikapku. Salahku yang hanya memanfaatkan kehadirannya sebagai tempat pelampiasan tapi pada akhirnya keadilan lagi berpihak padanya. Entah, perasaan apa yang datang padaku!
Nyaman, tenang, bahagia, lepas bebas tanpa beban. Terbukti akhirnya ucapan sahabat kecilku, Silvi.
“Lihat deh mbak! Suatu saat pasti perasaanmu berpaling sama Yogga pas pacarmu minggat nggak tahu kemana.” ucapan Silvi masih terngiang.
“Oh ya? Apakah mungkin?” batinku.
Dan ternyata, semua memang benar terjadi. Sekarang aku dihadapkan dengan dua pilihan. Dia atau dia?
Aku hanya berharap semua selesai tanpa membawa luka yang kekal. Aku yakin, Allah tidak tidur. Dia tahu siapa yang lebih banyak berkorban untukku, dan siapa yang menyepelekanku. Atau, aku akan kehilangan keduanya?
Entahlah, aku bingung. Dia atau dia?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar