Ku buka tirai jendela kamarku. Matahari bersinar cerah, seperti
berlawanan dengan suasana hatiku yang masih seperti semalam. Semalam
jantungku berdegup kencang. Kini deg deg-an itu menghilang. Tapi resah
itu masih ada. Sesekali kuhela nafas panjang. Mungkinkah ini firasat?
Atau ini pertanda penyakit? Ah, harusnya tak perlu kuperdulikan perasaan
ini. Kuikhlaskan semua ini. Apa yang akan terjadi hari ini, biarlah
terjadi. Akhirnya kurasakan sedikit ketenangan. Perasaanku lebih baik
sekarang. Kalau begini, aku siap menghadapi hari dengan senyuman. Aku
harus ke kampus hari ini, kuharap semuanya lancar.
Aku sedang mengobrol di bawah pohon bersama dengan teman-temanku saat
tak sengaja kulihat dia berdiri di depan ruang kuliah. Aldy, cowok yang
akhir-akhir ini mendekatiku. Sudah lama aku mengenalnya. Ia adalah
sosok yang dewasa dan perhatian. Tapi bukan dia, bukan dia yang selama
ini mengisi relung hatiku. Tapi dia yang satunya lagi. Dia yang baru
saja keluar dari ruang kuliah. Dia yang kini berjalan ke arah lapangan
parkir. Dhion. Cowok jangkung, pendiam, tapi humoris. Tapi dekat
dengannya juga bukan berarti ia memiliki rasa yang sama seperti rasa
yang kumiliki untuknya. Telah kucurahkan isi hatiku kepada ibu. Ibuku
menasihatiku untuk memilih orang yang mencintaiku. Ibu seakan memahami,
bahwa cinta yang kumiliki selama ini kepada Dhion sebenarnya bertepuk
sebelah tangan. Kini kubuka hatiku untuk orang lain. Orang yang mungkin
bisa membahagiakanku.
Aldy menghampiriku. Senyum manisnya akhir-akhir ini menghiasi
hari-hariku. Tatapannya yang teduh dan sapaan hangatnya mulai membuatku
merasa ada yang kurang saat lama tak berjumpa dengannya. Tapi aku enggan
menunjukkan perasaanku. Aku masih tidak yakin akan diriku. Di hatiku
masih ada Dhion.
“Zia, nanti malem ada acara gak?” tanya Aldy, yang kini duduk tepat di sisiku.
“Hm, kayaknya gak ada. Kenapa?” sahutku datar. Seperti biasa.
“Keluar yuk, di tempat biasa ya” katanya sambil tersenyum.
“Boleh deh” sahutku.
“Ya udah kalo gitu aku pulang dulu ya. Ada kerjaan nih. Kamu masih ada kuliah kan ntar lagi?”
“Iya. Masih ada kuliah, ya udah hati-hati ya”
Aldy mengangguk lalu berlalu. Berjalan menuju lapangan parkir, menunggangi kuda besinya lalu pergi meninggalkan kampus.
Saat Aldy berlalu, kulihat seseorang berjalan dari arah lapangan
parkir menuju ke arahku. Dhion. Dia sedari tadi mengobrol dengan
temannya di lapangan parkir.
Jantungku berdegup kencang. Kali ini aku tahu mengapa. Pasti karena Dhion.
“Zi, nanti malem keluar yuk?” kata Dhion
“Hah? Kemana?” Serasa mimpi. Dhion memang ramah terhadapku. Tapi baru kali ini ia mengajakku pergi bersamanya.
“Nonton pertandingan sepakbola. Gak enak sendirian nonton. Gak seru.
Nanti nontonnya di stadion deket rumahmu. Aku tunggu di depan stadion
ya, soalnya masih ada perlu dengan temanku disana. Nanti aku sms kamu
deh. Tapi kamu gak ada acara kan entar malem?”
“Gak ada kok” Ah, apa yang kukatakan tadi? Bukankah aku ada janji dengan Aldy. Apa yang harus kulakukan?
Sepulang dari kampus kuceritakan semua kejadian hari ini kepada
Ibuku. Aku bingung dengan kedua janji yang telah kupilih di waktu yang
bersamaan. Aku meminta pendapat beliau mengenai pilihan yang terbaik.
“Sayang, kamu kan lebih dulu janjian dengan Aldy. Nah, kamu samperin
Dhion, kamu minta maaf ke dia kalo gak bisa nemenin nonton karena kamu
ada keperluan lain. Gitu aja” Kata Ibu.
Benar memang. Aku seharusnya pergi menepati janjiku dengan Aldy, tapi
aku sebenarnya ingin menemani Dhion. Ku anggukkan kepalaku, menyetujui
saran Ibu. Tapi pikiranku masih melayang.
Aku berjalan menuju stadion tak jauh dari rumahku untuk menemui Dhion
dan membatalkan janjiku dengannya. Tapi apa yang kulakukan. Aku justru
menemaninya menonton bola. Rasa senang bercampur dengan perasaan
bersalah karena melupakan janjiku dengan Aldy. Dhion yang kini berada di
sisiku tak mampu mengalahkan rasa gelisahku saat ini. Aldy pasti kini
sedang menungguku di café tempat kami biasa bertemu. Aku tak tahan
dengan rasa gelisah ini. Entah mengapa aku merindukan dia sekarang. Aku
merasa apa yang kupilih saat ini salah. Apa yang kulakukan kini adalah
melawan kata hatiku. Aku beranjak dari kursi yang kududuki, Dhion
menatapku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Maaf Dhion, aku ada perlu. Aku pergi dulu”
Aku berjalan cepat, keluar dari stadion. Kupercepat langkahku, hingga
aku setengah berlari menyusuri jalan menuju café itu. Air mata
membasahi pipiku. Sambil berlari, kuusap air mata yang merembes. Aldy,
kuharap kamu masih disana.
Aku terengah-engah saat kulihat Aldy masih di dalam café tempat kami
biasa bertemu. Aku duduk di hadapannya, dia sedang membuang muka karena
sedang menelpon. Mungkinkah ia marah? Ia sebal karena aku datang sangat
terlambat? Hampir dua jam?
Aldy menunduk dengan tatapan kosong. Ia tak mau memandangku. Ia lalu
berdiri, dan beranjak dari tempat duduknya. Berjalan keluar dari café
dengan langkah cepat.
“Al! Kamu marah?”
Aku mengejarnya untuk menjelaskan semuanya. Tapi ia tak mendengarku, ia terus pergi. Aku menangis.
Aku berjalan dengan gundah, berjalan searah dengan arah Aldy pergi.
Aku tahu tak mungkin menyusulnya karena ia menaiki motor. Tapi aku tetap
berjalan. Entahlah, mungkin aku hanya berusaha menghukum diriku
sendiri. Tapi sepertinya Tuhan memahami keinginanku untuk bertemu lagi
dengan Aldy. Tiba-tiba aku melihatnya turun dari motornya di suatu
bangunan. Entah apa, aku tak begitu memperhatikan. Aku hanya ingin
mengejarnya. Aku berlari terus. Kulihat ia masuk ke sebuah ruangan, aku
ikut memasukinya.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Aldy kepada seseorang di sampingnya.
Aldy duduk di samping tempat tidur. Di atas tempat tidur berbaring
seseorang. Aldy menggenggam erat tangannya. Kulihat ada ayah dan ibuku
juga disana. Kudekati kasur pesakitan itu. Aku terhenyak, ingin
berteriak.
“Tuhan, apa yang terjadi padaku?” bisikku lirih.
Aku terduduk, terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Samar-samar kuingat
saat sebuah sinar terang menyilaukan mataku ketika aku berlari menuju
café itu. Sekarang aku ingat semuanya. Aku tersadar. Tak ada yang bisa
kulakukan.
“Aku bakal nunggu kamu buka matamu sampai kapanpun, Zi. Aku bakal
nemenin kamu disini. Saat kamu bangun nanti, kuharap kamu mau menemaniku
menghabiskan sisa umurku bersamamu” Aldy menggenggam erat tanganku, air
mata membasahi pipinya. Air mata yang tak bisa kuusap karena aku tak
bisa menyentuhnya. Aku menangis dan berteriak. Tak ada yang mendengarku.
Tunggu aku Al, jika Tuhan mengizinkan aku akan segera kembali untuk
memenuhi janjiku dan menemanimu. Hingga akhir waktuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar